Para Pejuang Pilpres

Dalam Pilpres ini, aku hanyalah satu dari 192 juta rakyat Indonesia yang mempunyai hak pilih.
Aku hanyalah mewakili suara dari tiga golongan sikap voters, dua golongan di antaranya adalah yang telah menjatuhkan pilihan untuk salah satu kandidat dan satu golongan lainnya adalah abstatin alias golput.
Aku sudah memutuskan memilih salah satu paslon. Aku memutuskan pilihan, sebatas tanggung jawab seorang warga negara yang juga harus dipertanggungjawabkan dihadapan-Nya, kelak.
Aku bukanlah dari mereka, yaitu anggota dari dua golongan yang berjuang penuh dalam menyukseskan pilihannnya.
Motif, emosi, aktivitas, dan harapan si akuh, tentunya berbeda dengan kaum pejuang dari kedua golongan di atas. Bisa jadi mirip dengan golongan golput.

Mereka, kaum pejuang telah memperlihatkan kegigihan masing-masing, mulai dari usaha mengajak massa sampai dengan melawan issue dari pihak lain yang berusaha menjatuhkan, menggoyahkan bahkan meniadakan kalau tidak disebut menghina paslon yang didukungnya.
Lebih dari enam bulan sejak ditetapkan paslon resmi, bulan september tahun lalu, para pejuang pilpres telah mengerahkan tenaga, materi dan fikiran dalam upaya menyukseskan paslon masing-masing. Media sosial menjadi salah satu alat untuk perjuangan mereka. Dari sinilah, si akuh bisa memantau perjuangan mereka dari dua pihak paslon yang bertarung.

Semua amunnisi telah mereka siapkan. Masing-masing kaum pejuang sudah mempunyai senjata andalan, entah itu senjata reguler, rahasia atau senjata pamungkas untuk menyerang pejuang dari paslon lawannya. Tidak lupa, mereka pun telah membangun benteng pertahanan dari serangan lawannya. Masing-masing pihak bahu-membahu mempertahankan benteng-nya dari serangan musuh, pun demikian berbaris rapi dalam melakukan serangan. Pejuang satu mengandalakan emak-emak, pejuang lainnya memaksimalkan aparat. Pejuang satu dibackup ulama, pejuang lainnya malah telah memilih ulama sebagai partner capresnya. Pejuang satu mengklaim didukung millenial, pejuang satupun menyuarakan klaimnya untuk target yang sama.
Ujungnya, kemenangan telak adalah target masing-masing pejuang pilpres.

Pilpres kali ini, tentunya mempunyai hawa yang lain. Hawa kompetisi yang panas, ada ajang revenge (balas dendam) untuk satu pihak pejuang atas kekalahan di pilpres sebelumny dan ajang mempertahankan gelar di pihak lainnya, pun demikian ada rona fanatisme di masing-masing pihak pejuang. Berbagai issue ditiupkan, lebih kepada issue menyudutkan lawannya. Satu pihak mengangkat issue tukang bohong, pihak lain tidak kalah garangnya dengan mengangkat issue tukang culik. Tidak cukup dengan issue tukang bohong, issue PKI pun diangkat dan dibalas oleh lawannya dengan issue khilafah. Sampai kepada issue perang ulama. Ulama mulai dinilai oleh asing-masing pihak pejuang. Pejuang pertama tak segan-segan melancarkan issue ulama asu alias pengkhianat dan penista agama serta jatuh dengan sebutan kafir untuk ulama yang tidak mendukung paslon jagoannya. Pihak lawan, tidak tinggal diam, dia sebut ulama di sana sebagai ulama amatiran, ulama yang tidak mashur, ulama gadungan alias perlu dipertanyakan keulamaannya, ijtima' ulama dipertanyakan! Terjadilah perang meme, perang tagar, dan perang slogan. Serangan verbal sudah tidak lagi berfilter kesantunan. Namanya juga menyerang masa ada kesantunan di sana. Betul apa betul?

Enam bulan berlalu, tiba masa pencoblosan dan perhitungan suara cepat (Quick Count). Keluarlah paslon pemenang. Pihak yang kalah hitung cepat bereaksi bahkan menciptakan benteng terlebih dahulu, deklarasi kemenangan berdasarkan exit poll. Tak cukup dengan exit poll, hitung nyata (real count) internal menjadi andalan kepercayaan bahwa justru pihaknyalah yang menang. Deklarasi kemenangan pun tidak cukup sekali. Pihak pejuang-pemenang bereaksi. Reaksi yang mengejutkan, buat si akuh. Tertawa dan menertawakan pihak yang mengklaim kemenangan, penentang hasil hitung cepat. Bukan menertawakan kelucuan tapi tertawa atas kedunguan. Tertawa nyinyir dibalas dengan reasons perjuangan, perjuangan melawan kejahatan penguasa, kecurangan dan kezaliman. Suasana panas belum reda. Postingan form C-1 dan rekap kemenangan di sejumlah TPS dan kota terus mengalir, yang dibalas tetap dengan tertawa nyinyir plus  cibiran dan sindirian. Perang kata-kata terus berlanjut. Di antara para pejuang yang jago analisis langsung mengeluarkan analisis kemenangan masing-masing sekaligus kedunguan-kedunguan di pihak lain. Analisis tidak sebatas angka dan fakta, namun kedua belah pihak pejuang telah melakukan analisis terhadap ekspresi muka. Katanya, Menang kok wajah-wajahnya sedih kaya gitu! Seperti menemukan sutetes air di padang pasir, lawannya mengeluarkan analisis wajah ketika ditemukan perubahan dari si emounay muak ganteng nan ceria berubah menjadi loyo!

Dan si akuh... cukup menuliskan adegan-adegan ini, tentunya tidak sambil geleng-geleng kepala, cukup dengan memainkan jari sembari mengembalikan atraksi-atraksi enam bulan ke belakang.

Selamat berjuang, para Pejuang Pilpres! Jangan lupa makan dan istirahat.


Popular posts from this blog

Risalah Kebohongan: BAB II — KECELAKAAN BESAR BAGI PARA PEMBOHONG

Attitude, Aptitude dan Altitude

Al Fatihah dan AlFath: Membuka Kemenangan