Atas Nama Keluarga Pohon Sengon

Pagi tadi saya mendapat telpon dari seorang ibu, rekan sekaligus senior di lingkungan saya bekerja.
Profil ibu ini seorang yang memegang erat budaya Indonesia.

Emang ada budaya Indonesia? ada dunk, itu lho yang terkenal dengan kesantunan, ramah tamah dan gotong royong nya! Oh Jawa toch? lho kok Jawa, ya Jawalah kalau yang santun dan ramah. Jadi selain Jawa, ga ramah gitu? wuah saya tersinggung nih, walau ada di Pulau jawa, daerah saya itu terkenalnya bukan budaya Jawa lho. Oh Kamu dari Betawi ya atau Sunda? ya antara dua itulah, dan bukan itu masalahnya, saya ga setuju bahwa hanya Jawa yang santun, itu aja. Emang buat kamu ukuran santun itu apa? ga ngomong kenceng atau keras, gitu? itu mah bukan soal suku lah. Jawa bagian timur, misal, tuch ngomongnya kenceng-kenceng, dan itu lebih dari bakat alam. Maksudnya? ya orang pantai biasanya bersuara kenceng sebagai perimbangan dengan gemuruh ombak yang mereka hadapi dalam keseharian, sebaliknya orang pegunungan yang dijumpai mereka adalah angin nan sepoi-sepoi, makanya mereka lebioh berirama ketika bicara. Ya, sudahlah. Saya mau lanjutin cerita Ibu yang tadi telpon saya.

Entah kenapa, kolega kerja saya ini, dalam banyak hal, yang berhubungan dengan cara menyampaikan pesan dalam bentuk verbal entah tulisan atau kata-kata, biasanya telpon saya sekedar berdiskusi. Satu kali saya disuguhi draft pesan yang harus saya edit, untuk mencapai kalimat yang pas, lain waktu beliau telpon dan belum ada draftnya, kami akhirnya menyusun kalimat yang tepat.

"Gimana ya Pak, cara menyampaikannya? keponakan saya itu seorang aktivis, juga motivator, sekarang sedang bertugas di London bersama timnya, sementara papa-nya sedang sakit keras dan dirawat di Rumah Sakit!” Begitulah pesannya di telpon, pagi itu, meminta saya untuk mencarikan format percakapan terbaik agar sang keponakan secepatnya pulang menemui ayahnya yang sedang kritis di rumah sakit.

Sang senior ini pun menambahkan info-nya bahwa keponakannya ini seorang rasionalis, logika dikedepankan."Lho kok bisa, keadaannya menjadi lebih parah, bukannnya sudah ditangani Tim Dokter terbaik!” imbuhnya.

Kehati-hatiannya dalam menyampaikan pendapat baik dalam bentuk tertulis ataupun ucapan, saya menyimpulkan bahwa partner kerja saya ini seseorang yang mempunya rasa empati tinggi. Pertimbangan matang jangan sampai menyinggung perasaan komunikan, selalu menjadi alasan terdepan kenapa rekan saya ini sering kali berkonsultansi hanya sekedar mencari redaksi terbaik.

Ya, empati... entah ini coretan ke berapa, saya menuliskannya sebagai cerita soal empati. Bahan yang selalu menarik dari persoalan ini, bagi saya, adalah kedudukan empati sendiri sebagai puncak dari skill komunikasi. The best communicator is a good listener. Demikian idiom atau quote yang sangat dikenali oleh para praktisi dan pemerhati komunikasi. Justru, seorang pendengar yang baiklah yang bisa kita menyebutnya sebagai komunikator ulung. Mendengarkan, bukan mendengar, adalah seni berempati. Bagaimana kita menyediakan waktu, konsentrasi untuk mendengarkan cerita, obrolan, pengajaran dan penasehatan dari lawan bicara kita. Tak semua orang piawai dalam memainkannya.

Ironinya, justru mendengar adalah kecakapan pertama, taken for granted from The God, yang kita kuasai. Sebelum penglihatan berfungsi dengan baik, apalagi mengenai pengertian atau pemahaman, maka pendengaranlah yang kita kuasai sebagai skill ketika kita lahir di dunia ini. Untuk itulah, salah satu mainan bayi yang pertama kali diperkenalkan adalah mainan yang berbunyi, dengan tool inipula kita dapat bermain-main dengan bayi.

gambar diambil dari IDN TIMES 
"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan pemahaman, agar kamu bersyukur." (QS 16:78).  Begitulah kitab suci Al-Quran memberikan informasi. "Pendengaran" yang disebut pertama oleh Tuhan, bukan penglihatan apalagi pemahaman. Demikian juga, pendengaran, kemudian penglihatan dan pemahaman  yang disebutkan bukan telinga, mata atau hati (af'idah/qalbu/qibdatun, in Arabic). Tuhan justru menyebutkan fungsi-nya, bukan organ-nya. Bahwa dipastikan, semua orang mempunyai telinga, namun belum tentu dapat difungsikan dengan baik. Hal yang sama untuk mata dan hati/akal.

Kehati-hatian, salah satunya dalam berkata-kata, termasuk menuliskan pesan dalam gadget, adalah implementasi dari nilai empati. Sayangnya, kecakapan awal dan sekaligus sebagai satu anugerah-Nya dari tiga modal dasar manusia, yaitu pendengaran, tidak menjadikan manusia secara otomatis sebagai sebuah kepiawaian dalam berkomunikasi dan berempati.

Hal ini juga yang diingatkan-Nya, siapa kelak, manusia yang bersyukur atas anugerah tiga modal dasar tadi, namun sunnatullah pun menjelaskan kebanyakan manusia tidak bersyukur (QS 23:78), karena tidak memfungsikannya sesuai harapan-Nya.
"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-  ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS 7:179)

Ya... hari ini dan hari kemarin, mungkin beberapa hari ke depan, trending nama satu pohon, masih akan meningkat. Terus dibicarakan dan didiskusikan. Semua itu berawal dari sebuah aplikasi seni berkomunikasi seorang manusia. Sengon, ya... dialah sebatang pohon sengon yang pada akhirnya menjadi tertuduh utama, dituding dan jadi biang kerok pemadaman listrik massal di Pulau Jawa, beberapa hari lalu.


Peristiwa ini hendaknya kita maknai sebagai salah satu ayat (tanda kekuasaan) Allah. Semestinya juga kita dapat membaca persitiwa ini sesuai dengan tuntunannya.
Atas peristiwa ini pula, bisa jadi, seandainya keluarga pohon sengon memiliki modal dasar yang sama dengan manusia, memiliki kepiawaian seperti manusia, pledoi singkat akan menghiasi dunia maya:

Kami, atas nama keluarga besar sengon, mempertanyakan semua tuduhan yang ditujukan kepada kami. Dalam bukan kehendak saudara kami, beliau tumbuh besar di bawah sutet. Anggota kami tidak dalam jalur kesalahan apalagi penentangan atau pembangkangan. Kami dalam kapasitas makhluk yang tidak dikaruniai pemahaman, seperti halnya manusia. Kami hanya tunduk kepada sunnatullah, hukum alam. Kami ditanam manusia di sana, hukum alam mendukung pertumbuhan kami, maka kami pun bertumbuh di sana. Dalam kapasitas insting, kami hanya tunduk kepada sunnatullah, pun demikian kami pun bertasbih dan memuji rubbiyah-Nya, perawatan-Nya. Tolong pertimbangkan lagi segala tuduhan yang dialamatkan kepada kami. Karena, kami tahu, manusia adalah hewan yang berfikir.

Popular posts from this blog

Risalah Kebohongan: BAB II — KECELAKAAN BESAR BAGI PARA PEMBOHONG

Attitude, Aptitude dan Altitude

Al Fatihah dan AlFath: Membuka Kemenangan