Implementasi Surat Al-Fatihah dalam Kehidupan seorang Muslim

Manusia: lahir, hidup dan menderita. Itulah sejarah manusia yang paling tragis. Lebih tragis, ketika lahir ke dunia pun, disaadarinya sebagai sebuah kejadian yang tak pernah diinginkan. 

Al-Fatihah, telah memberikan mode perilaku (hidayah) kehidupan bagi manusia. Dua outcome ditegaskan, bahagia yang diwakili dengan limpahan nikmat-Nya dan kesengasaraan yang diwakili dengan dua kondisi sesat dan terkutuk (QS 1: 7). Outcome ini berlanjut dengan impact dua hal, mereka yang diberikan nikmat-Nya akan beroleh jannah (surga), sebaliknya mereka yang sesat dan terkutuk akan berujung dengan kepedihan dalam api neraka. 

Manusia, ketika lahir dalam starting point yang sama. Mereka keluar dari perut sang ibu berada dalam keadaan lemah, dan Allah memberikan 3 modal dasar berupa pendengaran, penglihatan dan pemahaman (kesadaran) (Lihat QS 16: 78, 17: 36, 23: 78, 32: 9, 46: 26, 67:23). Tiga modal dasar ini berfungsi untuk membaca ayat-ayat Allah yang berakhir dengan dua kondisi mereka yang bersyukur dan lagi-lagi mereka yang tersesat layaknya binatang, bahkan lebih sesat. Ayat-ayat Allah ada dalam diri manusia dan lingkunganya. Ayat-ayat Allah juga dapat ditemukan dalam format wahyu-Nya (qauliyah) ataupun di segala cipataan-Nya (kauniyah). Ayat-ayat Allah menjadi petunjuk bagi mereka yang berilmu dan hanif dan tidak berarti apapun bagi mereka yang tidak mau berfikir, menggunakan akalnya dalam upaya memelihara kondisi hanif (Lihat QS 22:54 dan 16:161).

Allahu Rabb Al-'alamiin, Allah pemelihara dan melakukan pembinaan kepada setiap makhluk tanpa kecuali. Maka, Allah berikan hidayah secara otomatis dalam setiap kejadian ciptaan-Nya (QS 22:50). Manusia dengan kelengkapan material (fisik, diwakili dengan pendengaran dan penglihatan) dan immaterial (diwakili oleh qalbu/afidah/akal dan nafs), hewan dan tanaman dengan insting/nalurinya. Allah menyediakan pemeliharaan berupa rezeki-Nya kepada semua makhluk tanpa kecuali. Bagi manusia, Allah menjadikan bumi dan langit serta diantara keduanya untuk kepentingan manusia. Dalam penciptaan langit dan bumi beserta diantara keduanya, terdapat tanda-tanda kebesaran-Nya. Itulah Rabb al-'alamiin. Dari keagungan-Nya, sebagian manusia menggunakan kapasitas akalnya untuk sampai kepada kesyukuran dan ketundukan, sebagian lainnya melakukan pengingkaran.

Allah sebagai Rabb telah mendisain dan mengatur alam raya ini secara hebat dengan segala keteraturannya. Tak ada satupun yang terlewatkan, mulai dari pergerakan atomis bahkan lebih kecil dari sebuah atom sampai dengan keteraturan yang terjadi di kosmos, jagat raya. Bagi manusia, diberikannya hidayah sebagai mode perilaku dalam berkehidupan. Melalui para nabi dan rasul-Nya, aturan-Nya disampaikan kepada manusia. Untuk hal ini, sebagian manusia beriman, dan sebagian lagi kafir. Bagi kaum beriman, segala keagungan dalam penciptaan-Nya maka termaknai konsep "hamd", bukan sekedar pujian bagi-Nya namun segala respek, kerendahan hati, dan ketundukan dikedepankan dalam segala perilaku mereka. Mereka pun tunduk dan berjanji bahwa apapun yang dilakukan hanya dan hanya untuk-Nya, Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Konsep "yaumiddin" adalah keniscayaan bagi orang beriman.

Orang beriman tunduk akan aturan-Nya, ad-diin, dinullah. Dia lah yang berhak mencipatakan aturan yang tenrtunya pas, cocok, tepat untuk semua ciptaan-Nya. Orang beriman sadar betul (taqwa) bahwa Allah adalah al-Malik dan al-Maalik. Allahlah Raja, pembuat aturan, dan Allah pula yang berhak melakukan pengadilan atas segala bentuk pertanggungjawaban manusia dari apapun yang dilakukan. Keasadaran (ketaqwaan) ini pula yang mengantarkan kepada komitmen: Hanya kepadaMu aku melakukan segala bentuk pengabdian, dan untuk itu pula, atas apapun yang terjadi kepada orang bertaqwa dalam memenuhi pengabidan mereka, mereka akan berlindung, mencari pertolongan hanya dan hanya kepada Tuhan Rabb al-alamiin, Tuhan Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim.

Sudah menjadi hukum-Nya, tak ada kesuksesan tanpa perjuangan. Tak ada pencapaian hebat tanpa pengorbanan. Godaan dan gangguan akan menghampiri mereka dalam perjuangan pengabdian. Digambarkannya perilaku para pembangkang (iblis) dan syaithan (devil) baik dari kalangan jinn (yang tersembunyi) atapun al-ins (manusia).  Komitmen yang bertauhid bagi orang beriman terpancar dalam pengabdian (ibadah) dan isti'anah  (وَٱسْتَعِينُوا۟, QS 2:45) serta isti'adzah, فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ (QS 7:200).

Adam, demikian juga penerusnya yang bergelar nabi dan rasul mengalami pait getirnya perjuangan menegakkan ad-diin. Ash-shalah (shalat) adalah secar filosofis adalah gambaran bagaimana kita senantiasa dzikir (mengingat) Allah Swt, وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِذِكْرِىٓ (QS 20:14), bersandar kepada ad-diin (aturan) Allah. Maka untuk itu menegakkan shalat berarti menegakkan ad-ddin. Ketika menemui segala rintangan dalam perjuangan mereka, maka Allah menyediakan "penawar" nya, berupa: shalat dan shabar, وَٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ (QS 2:45).

Sampai disini, ayat 1 s.d ayat 5 suratul Fatihah adalah bimbingan ketauhidan sekaligus keilmuan bagi manusia dalam berperilaku dengan bermode-kan tuntunan Ilahi. 

Bagi mu'min dan muslim, ketika mode perilaku (hidayah) Ilahi telah bersemayam dalam hati, maka mereka memperkuatnya dengan satu do'a: Tunjukilah, tuntunlah, dan bimbinglah serta peliharalah kami dalam hidayah-Mu. Mode perilaku yang menuntun kepada ad-diinm itulah shirathal mustaqiim. Shirathal mustaqiim adalah mode perilaku, jalan, thariq dan sabil yang ditempuh oleh para Nabi, shiddiqiin, para syuhada, dan shalihiin. Merkalah yang dinyatakan telah mendapatkan kebahagiaan, kesuksesan dan nikmat-Nya. 

Para Nabi dan ke-3 golongan , telah menjadi role model (وَحَسُنَ أُو۟لَـٰٓئِكَ رَفِيقًۭا) bagi kaum beriman dan berada dalam kedamaian (muslim). Par Nabi, yang bertugas membacakan ayat-ayat Allah kepada manusia. Para Nabi, dengan izin-Nya mendapatkan delegasi dari-Nya untuk memberikan mode perilaku (hidayah) bagi manusia. Ayat-ayat Allah yang tertulis (sperti al-Qur'an) menjadi mode perilaku (hidayah) bagi mereka kaum berilmu, muhsiinin, mu'minin, muslimin dan muttaqiin.

Dengan demikian, shirathal mustaqiim, dalam kaitan dengan do'a yang diminta kepada-Nya oleh kaum beriman bukan dalam ketiadaan makna. Allah Swt sendiri yang telah memberikan uraiannya. Shirathal mustaqiiim adalah jalan yang ditempuh oleh para Nabi, shiddiqiin, para syuhada, dan shalihiin (QS 1:6 dan QS 4: 69). Shirathal mustaqiim adalah dijelaskan sebagai jalan yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan sebelumnya menjelaskan bahwa keberadaan wahyu (Al Quran) dengan perintah Allah sebagai sumber ilmu dapat berfungsi sebagai cahaya, yang dapat menunjuki siapa yang Allah kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, demikian juga posisi Nabi yang telah mendapatkan petunjuk dapat memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS 42:51-53). Shirathal mustaqiim, menjelaskan tentang 10 wasiat merujuk kepada Tafsir Al-Misbah (Shihab, 2005), atau 10 perintah dasar merujuk kepada tafsir Explanation of Holy Qur’an (Parwez G. , 2015).  (QS 6: 151-153). Shirathal mustaqim adalah berkaitan dengan KEIMANAN, sebagaimana hidayah Allah salah satunya akan diberikan kepada orang yang beriman. Dalam konteks QS 43:61 adalah keimanan kepada Nabi Allah dan Hari Kiamat. Shirathal mustaqiim juga enjelaskan perintah ibadah, “Sesungguhnya Allah, Tuhanku dan Tuhanmu, karena itu sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus.” (QS 3: 51, lihat juga 19:36, 36:61, dan 43:64).  M. Quraish Shihab, dengan mendasarkan kepada ayat QS 36:61 di atas, menyatakan bahwa Shirathal mustaqim adalah IBADAH. (Shihab, 2005). Terakhir, dari ayat “Wa hadza shiratu rabbika mustaqiiman” (6:126), Dan inilah jalan rabb-Mu yang lurus ini didahului dengan penentangan kepada ayat-ayat Allah (6:124) dan Allah menegaskan,” Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit…” (QS 6:125), seterusnya dalam QS 6:126 Allah berfirman, “Dan inilah jalan Tuhanmu; (jalan) yang lurus. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan ayat-ayat (Kami) kepada orang-orang yang mengambil pelajaran”.  Ayat ini relevan dengan penjelasan shirathal mustaqiim sebagai agama yang lurus (dinan qiyaman) dalam QS 6: 161.

Dengan demikian, shirathal mustaqiim adalah Al-Islam agama yang diridhai-Nya (QS 3:19), agama yang benar (QS 6: 161) dan sempurna dan diridhai Allah, barang siapa mencari agama selain Allah maka mereka tidak akan diterima Allah dan termasuk orang yang merugi. (QS 3:85, 5:3). Relevansinya dengan Surat Al-Fatihah, bagi siapapun yang tidak memilih tatanan (Ad-ddin) al-Islam, merekalah yang sesat dan terkutuk. 

Apapaun, Al-Fatihah telah memberikan mode perilaku kepada manusia, bagaimana berfikir dan bertindak dalam koridor keilmuan dan ketauhidan. Mode Perilaku untuk memaksimalkan potensi diri dalam menjalankkan tugas Ibadah (QS 51:56) dan melaksanakan fungsi Khalifatul fil Ardl (QS 2: 30) dengan menjadikan al-Qur'an sebagai pedoman hidup sebagi bentuk pemeliharaan kondisi hidayah berada dalam jalan yang benar, serta ber-isti'anah dan ber-isti'adzah.


Implementasi pengabadian yang berawal dari komitmen karena sebuah kesadaran (taqwa), maka seorang Muslim hendaklah:

  1. Melakukan secara konsisten pengembangan diri dan sosial untuk menjadi lebih baik
  2. Menjaga kemurnian bertauhid dalam setiap pengabdian
  3. Menegakkan dinul Islam
  4. Memelihara keseimbangan dan harmonisasi di alam raya.

Semoga bermanfaat.

Garut, 30 Oktober 2020



Popular posts from this blog

Risalah Kebohongan: BAB II — KECELAKAAN BESAR BAGI PARA PEMBOHONG

Attitude, Aptitude dan Altitude

Al Fatihah dan AlFath: Membuka Kemenangan