Shalat Para Nabi

 Belajar Memahami Shalat Dari “shalatnya” Para Nabi

Shalat menurut alquran berbicara tentang istilah yang merujuk kepada penegakan perintah ilahi dalam masyarakat. Sedangkan shalat-ritual yang kita fahami saat ini, adalah sebuah ritual peribadahan lazim di kalangan Muslim selama berabad-abad. Jika kita mengganti kata sholat dengan kata "penegakan perintah ilahi”, di semua tempat di mana shalat disebutkan, kita pastinya tidak akan mengalami kesulitan dalam memahami inti dari shalat. Arti shalat sebagai 'perintah ilahi' atau 'mengikuti perintah ilahi dan untuk mematuhinya”, kita akan coba periksa terhadap beberapa ayat yang berhubungan dengan Sholat dengan referensi dari beberapa Nabi yang dijelaskan dalam alqur’an.

Tulisan ini, lebih kepada upaya reflektif terhadap shalat-ritual yang telah difahami oleh mayoritas muslim. Dalam Risalah Shalat yang telah saya posting di halaman download pada blog ini, saya sampaikan bahwa prinsip shalat adalah mengikuti perintah-perintah Ilahi. Dari sinilah kita dapat dengan mudah memahami ketika Rasulullah mengingatkan bahwa shalat adalah tihang "agama" dan dengan menegakkan shalat berarti menegakkan "agama".

Nabi Ibrahim

Mari kita lihat Firman Allah Swt dalam Surat Al-Imran (3) ayat 37 di bawah ini:

 

رَبَّنَآ اِنِّيْٓ اَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِيْ بِوَادٍ غَيْرِ ذِيْ زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِۙ رَبَّنَا لِيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ فَاجْعَلْ اَفْـِٕدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِيْٓ اِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِّنَ الثَّمَرٰتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُوْنَ - ٣٧

“Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman (tempat tandus) di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, sehingga mereka mendirikan Shalaat. Oleh karena itu tolong arahkan hati orang-orang kepada mereka dan beri mereka makanan dari buah-buahan sehingga mereka menjadi berterimakasih".

 Harap dicatat bahwa Nabi Ibrahim berdoa hanya untuk satu tujuan, yaitu, agar keturunannya dapat "mendirikan shalat". Itu berarti bahwa seluruh misi para Nabi: perjuangan mereka, bahkan perang melawan mereka yang melawan perintah Ilahi, diwujudkan dalam istilah komprehensif ini. Tapi untuk menyingkirkan maknanya yang komprehensif, orang-orang saat ini mencoba untuk membatasi misi sholat hanya pada shalat-ritual. Nabi Ibrahim telah berdoa terkait shalat ini tidak hanya untuk keturunannya tetapi juga untuk dirinya sendiri juga. Mari kita lihat ayat ke-40 masih dari Surat Ibrahim ini, di mana doanya disebutkan dengan kata-kata di bawah ini:

 

رَبِّ اجْعَلْنِيْ مُقِيْمَ الصَّلٰوةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْۖ رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاۤءِ - ٤٠

Artinya: “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan keturunanku sebagai penegak hukum Shalaat…”

Silakan lihat pada poin ini, Nabi Ibrahim bukan hanya berdoa agar keturunannya menjadi penegak shalat, tetapi berharap dirinya sendiri menjadi pelaksana shalat. Apakah ada orang cerdas di sini yang setuju dengan harapan Nabi Ibrahim dari keturunannya adalah menawarkan shalat-ritual? Nah, katakanlah kalau di pikiran pembaca budiman bahwa Nabi Ibrahim memang diperintah untuk mengerjakan shalat-ritual, apakah memang shalat-ritual kita sudah benar merujuk kepada shalat-ritual Nabi Ibrahim. Tentu saja, jawabannya bukan shalat ritual, namun misi pada umumnya, adalah untuk menegakkan aturan ilahi, yang diperintahkan kepada Nabi kita juga sebagaimana dalam ayat di bawah ini:

 

قُلْ صَدَقَ ٱللَّهُ ۗ فَٱتَّبِعُوا۟ مِلَّةَ إِبْرَٰهِيمَ حَنِيفًۭا وَمَا كَانَ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ

Wahai Nabi, Anda harus mengikuti jalan (tindakan, garis, ajaran dll.) N. Ibrahim…” (QS 3:95)

       Ini berarti bahwa seluruh hidup Nabi Muhammad Saw harus mengikuti Nabi Ibrahim. Apapun yang Nabiyullah Muhammad kerjakan adalah menuruti Model Nabi Ibrahim. Itu sebabnya, kapanpun Nabi Ibrahim berbicara tentang pendirian shalat, dia berbicara tentang sebuah tatanan Ilahi. Kapanpun Nabi kita diperintahkan mengikuti jalan Nabi Ibrahim, dia pasti diperintahkan mengadopsi cara atau disiplin dari Nabi Ibrahim.

Kembali pada ayat ke-37 dari Surat Al-Imran di atas, yaitu:

Ghairi dzi zar’in (غَيْرِ ذِيْ زَرْعٍ), yang terjemahannya sebagai "Lembah yang belum diolah". Hal yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa di tempat itu adalah lembah tandus, tidak dihuni atau dibudidayakan. Pertanyaannya, mengapa sampai Nabi Ibrahim menempatkan keturunannya di tempat seperti itu apalagi hanya untuk shalat-ritual?

Harap dicatat bahwa misi para Nabi selalu untuk melaksanakan perintah ilahi, yang pada gilirannya menghasilkan keteladanan komunitas, yang melaluinya muncul negara dengan misi perdamaian dan keamanan. Hasil yang bermanfaat dari masyarakat ini sebagai upaya yang terbukti bermanfaat bagi umat manusia. Nabi Ibrahim telah menyelesaikan misi yang sama. Dia menetap menurunkan keturunannya di daerah yang populasinya tandus sehubungan dengan bimbingan Ilahi. Masyarakat yang damai dan makmur akan didirikan di sana. Itu adalah amanat yang sama dan diberikan kepada kaum mukminun sebagaiman di ayat ke-31 melalui Nabi kita.

 

قُلْ لِّعِبَادِيَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا يُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُنْفِقُوْا مِمَّا رَزَقْنٰهُمْ سِرًّا وَّعَلَانِيَةً مِّنْ قَبْلِ اَنْ يَّأْتِيَ يَوْمٌ لَّا بَيْعٌ فِيْهِ وَلَا خِلٰلٌ - ٣١

Katakanlah (Muhammad) kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman, “Hendaklah mereka mendirikan salat, menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan secara sembunyi atau terang-terangan sebelum datang hari, sebelum hari itu tiba ketika tidak ada tawar-menawar dan tidak ada persahabatan.”

Jelas bahwa dalam ayat ini juga, Nabi kita diperintahkan, sebagaimana Nabi Ibrahim diperintahkan, untuk mendorong kaum beriman supaya bersatu di bawah disiplin menurut perintah Ilahi dan tetap membuka pintu rezeki untuk setiap orang dari apa yang Tuhan telah limpahkan kepada mereka. Dengan kata lain yang dibangun oleh N. Ibrahim adalah tatanan sosial, bukan ibadah shalat-ritual. 

Nabi Syuaib

Berkenaan dengan Nabi Syuaib, kita dapat melihat Firman Allah Swt, persis seperti yang dikatakan bahwa “Shalla berarti terus berjalan di jalur tertulis dan terus bertahan dengan disiplin ilahi yang ditentukan. Kerangka ketuhanan mencakup tugas di setiap aspek kehidupan kita”. Dan diversifikasi tugas ini disorot dalam cerita tentang Nabi Syuaib.

Mari kita lihat bagaimana kebenaran yang kekal ini diriwayatkan dalam Surat Hud (11). Saat Nabi Syuaib menghadirkan “manifesto” shalat di hadapan umatnya, mereka, seperti biasa menolak untuk menerima dan mulai menentangnya. Sebagai balasan terhadap apa yang dikhotbahkan Nabi Syuaib kepada mereka, mereka berargumen:

 

قَالُوا۟ يَـٰشُعَيْبُ أَصَلَوٰتُكَ تَأْمُرُكَ أَن نَّتْرُكَ مَا يَعْبُدُ ءَابَآؤُنَآ أَوْ أَن نَّفْعَلَ فِىٓ أَمْوَٰلِنَا مَا نَشَـٰٓؤُا۟ ۖ إِنَّكَ لَأَنتَ ٱلْحَلِيمُ ٱلرَّشِيدُ

Artinya: “Ya, Syuaib, apakah sholat Anda ini yang akhirnya Anda perintahkan untuk kami agar meninggalkan tuhan-tuhan yang disembah orang tua (nenek moyang) kami; dan bahwa kami tidak dapat menghabiskan kekayaan kami sesuai keinginan.” (Surat Hud (11) ayat 87).

Harap perhatikan bahwa ada dua tuntutan dalam ayat ini:

1.      Menghentikan ibadah penyembahan tuhan-tuhan peninggalan nenek moyang.

2.      Aspek ekonomi yang akan datang di bawah panji shalat.

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul lagi di hadapan kita adalah: Apakah ritual shalat setara dengan shalat yang dijelaskan dalam alquran ayat ini? Dan shalat-ritual berhubungan dengan aspek ekonomi? Apa dan di mana shalat ritual memerintahkan kita tentang sistem ekonomi, atau untuk merumuskan kebijakan ekonomi?

Nabi Musa

Seperti halnya Nabi Musa yang dipilih untuk misi Tuhan dan dia dianugerahi wahyu pertama, dia pertama-tama hanya diberikan satu pesan:

 

إِنَّنِىٓ أَنَا ٱللَّهُ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعْبُدْنِى وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِذِكْرِىٓ

"Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah AkuTegakkan Shalat untuk mengingatKu ". (Surat Thaha (20): 14)

Di sini jika shalat diterjemahkan sebagai shalat-ritual, maka artinya: "Tegakkan shalat –ritual untuk mengingat Allah".

Harap dicatat bahwa jika pada titik ini, Sholat diambil sebagai shalat-ritual, maka ditetapkan bahwa apa yang dilakukan Nabi Musa sebagai sebuah prioritas, adalah persembahan ritual, shalat. Tapi yang terjadi justru Nabi Musa membebaskan bangsanya dari kezaliman Fir’aun; dan ketika ummat N. Musa memperhatikan orang lain berpegang teguh pada penyembahan berhala, mereka meminta N. Musa untuk mengarang/menghadirkan berhala untuk tujuan pemujaan mereka. Mereka berkata kepada N. Musa, sebagaimana Firman-Nya dalam (al-Aa'raaf (7): 138) di bawah ini:

قَالُوا۟ يَـٰمُوسَى ٱجْعَل لَّنَآ إِلَـٰهًۭا كَمَا لَهُمْ ءَالِهَةٌۭ ۚ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌۭ تَجْهَلُونَ

Artinya: “Mereka berkata: Wahai Musa, jadikanlah untuk kami berhala/sembahan/tuhan sebagaimana berhala bagi mereka. Musa Menjawab sesungguhnya kalian adalah kaum yang jahil/bodoh/tidak cerdas”

Yuk, kita fikirkan, apa mungkin, ketika ibadah shalat-ritual sudah diperintahkan kepada mereka, hal yang sulit dipercaya bahwa mereka masih menuntut berhala untuk disembah. Bukan hanya permintaan ini yang aneh, tapi tanggapan Nabi Musa juga tidak sesuai dengan apa yang mereka minta. Nabi Musa, atas permintaan ini, bukannya menunjukkan kepada mereka bahwa mereka sudah memiliki Tuhan yang menjadi tujuan mereka menyembah, namun berkata kepada mereka:

“Kalian adalah kaum yang bodoh”.

Dalam kejelasan narasi di atas, jika Surat "Taha", Ayat 14, di mana pendirian shalat ditahbiskan, diambil untuk mengartikan shalat-ritual, maka kaum N. Musa tidak akan memiliki kebutuhan untuk menuntut berhala yang harus dipegang teguh. Dan juga tidaklah harus bagi N. Musa menjawab bahwa mereka adalah kaum yang bodoh. Bisa jadi, jawaban yang tepat seharusnya: "kalian sudah punya shalat-ritual sebagai bentuk penyembahan dalam ibadah kalian”.

Jika sholat bukanlah shalat-ritual sebagaimana dalam wahyu ilahi pertama untuk Nabi Musa, sehubungan dengan tuntutan berikutnya dari kaum N. Musa malah sesuatu untuk menjadi sesembahan (berhala). Nabi Musa menganggapnya sebagai perintah dalam menegakkan wahyu ilahi, dan telah menyatakan ibadah berhala apapun sebagai bentuk kebodohan. Jadi, bagaimana kita bisa mengartikan shalat sebagai shalat-ritual?

Dan jika kembali kita mengamati ayat di atas (QS 20: 14), Yang Mahakuasa setelah mengenalkan diri sebagai Allah, tiada tuhan selain Allah, dilanjutkan dengan perintah beribadah kepada-Nya:

 (إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي).

Ibadah, dalam pengertian ritual sebagaimana yang difahami mayoritas kaum muslimin adalah shalat-ritual termasuk do’a-doa yang kita panjatkan kepada-Nya. Adalah hal yang rancu ketika pengertian ini masih ditanggapi oleh kaum Nabi Musa dengan keinginan menghadirkan lagi tuhan-tuhan (sesembahan) lainnya.

Dan sebagaimana terbukti dari alqur’an, istilah yang komprehensif dari shalat mencakup para nabi di seluruh misi. Mulai dari kesadaran akan wahyu Ilahi, hingga pembentukan tatanan sosial yang terorganisir berdasarkan wahyu ilahi, semuanya berada di bawah yurisdiksi dari istilah komprehensif Shalat.

 

Nabi Muhammad Saw

Ayat mana pun yang akan sahabat faham-renungkan mengenai shalat dalam konteks yang tepat, semoga pembaca mencapai pada kesimpulan bahwa istilah "Aqamat Salaat" telah digunakan untuk pembentukan tatanan sosial melalui perintah Ilahi.

Misalnya, ada perintah ilahi di ayat 71, 72 dari Surat  Al-An'aam:

قُلْ اِنَّ هُدَى اللّٰهِ هُوَ الْهُدٰىۗ وَاُمِرْنَا لِنُسْلِمَ لِرَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ – ٧١

وَاَنْ اَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاتَّقُوْهُۗ وَهُوَ الَّذِيْٓ اِلَيْهِ تُحْشَرُوْنَ - ٧٢

Artinya: “…Katakanlah, sesungguhnya tuntunan Allah adalah petunjuk yang sejati dan kami

telah ditahbiskan/diperintahkan untuk sujud/berserah diri kepada Penguasa Alam Semesta. Dan untuk itu dirikan Shalat dan adopsi nilai "Taqwa"…”

Harap perhatikan bahwa dalam ayat-ayat ini, beberapa perintah diberikan melalui Nabi kita:

1) Urutan pertama adalah memberitakan bahwa bimbingan Ilahi (hidayah/petunjuk) adalah pedoman yang sesungguhnya; yang berarti bahwa tidak ada panduan di luar parameter “Wahyu”;

2)   Urutan kedua adalah tunduk dalam ketaatan kepada Penguasa Semesta; artinya untuk segenap yang ada di bawah pengasuhan-Nya, tidak ada perintah yang akan ditaati kecuali perintah ilahi;

3)     Urutan ketiga adalah mendirikan Shalat;

4)  Dan urutan keempat adalah mengambil tindakan pencegahan sepenuhnya dan kewaspadaan terhadap hukum-Nya.

Harap dicatat bahwa urutan pertama adalah mengakui tentang kesadaran akan perintah-perintah ilahi dan yang kedua adalah perintah mengakui niat dan kepatuhan kita semua untuk ketaatan. Sekarang dalam kasus ketiga, yang tentunya termasuk dalam fase berikutnya, yaitu, implementasi, ketika berakhir pada ritual-shalat, apakah akan terjadi pada penegakan perintah ilahi? Urutan logis dari hal-hal yang harus dimiliki, yaitu: pertama: kesadaran, kedua: niat penyerahan total, dan ketiga, penegakkan - kemudian tahap keempat seharusnya mengambil tindakan pencegahan dan menjadi waspada dalam menghindari ketidaktaatan.

Mengenai perintah Ilahi, dalam QS 98: 5 sebagaimana telah disampaikan dalam pembukaan, Allah berfirman:

وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلْقَيِّمَةِ

“Orang-orang ini hanya diberi perintah untuk taat kepada Allah dengan pengabdian penuh, tulus pada Ideologi (ad-diin) dan menjaganya bebas dari kotoran; dan agar mereka membangun as-Shalat dan  memberikan az-Zakat; dan ini adalah lurus/tegak, Ad-diin berkelanjutan ”.

Inilah salah satu contoh ayat yang secara langsung tegaknya idiologi/tatanan ilahi/ad-diin dengan penegakkan shalat dan system zakat. Mukhlishiina lahuddiin (Ketulusan dalam menegakkan ad-diin) dapat diartikan sebagai terbebasnya dari unsur syirik sebagaimana dijelaskan bahwa ad-diin itu sendiri bersifat khalish/murni (الدِّينُ الْخَالِصُ)[1]. Ad-diin juga bersifat benar atau lurus/tegas/autentik (diinan qiyaman)[2] atau sebagai diinul qayyimah sebagaimana dalam QS 98: 5 di atas. Kata menegakkan (يُقِيمُو) terkait shalat, mempunyai akar triliterasi yang sama dengan qiyaman/qayyimah, yaitu: (ق و م).

Perintah untuk menegakkan ad-diin secara tulus/murni, juga disampaikan sebelum pernyataan bahwa ad-diin milik Allah yang khalish, yaitu dalam QS 39: 2:

إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ

Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.

Dalam ayat lain Kitabul Haq (kitab yang membawa kebenaran), disebutkan sebagai kutubun qayyimah (penulisan/kitab yang benar)[3] sebelum pernyatan dinul qayyimah. Dengan kerengan di sini semoga bisa difahami bahwa penegakkan shalat, berkorelasi dengan penegakkan ad-diin juga berarti penegakkan nilai-nilai alquran itu sendiri sebagai hudan (petunjuk) hidup manusia.

Sementara "Taqwa" tidak berarti 'takut akan Tuhan'. Kata akarnya adalah (و ق ي) yang berarti "untuk mencegah dari akhir/hasil yang buruk". Jadi, saat dikatakan: “Ittaqullah”, itu tidak berarti 'takut akan Tuhan' tapi, artinya “menjaga keamanan dari akibat buruk dari pembangkangan kepada Tuhan ". Lebih jelasnya, 'jaga diri sahabat budiman agar aman dari cengkeraman hukum pembalasan Tuhan. Sebaliknya, dengan mengubah makna Taqwa dari 'berhati-hati dan menjadi waspada', menjadi 'takut akan Tuhan ', kita telah mengubah Alquran menjadi kitab yang menakutkan.

Taqwa, secara sederhana, sebenarnya berarti 'menghindari akhir yang buruk'. Harap dicatat bahwa seluruh perjuangan Nabi kita adalah dimasukkan dan dilambangkan dalam istilah 'pendirian dari shalat '. Perintah untuk membangun / menegakkan, yang mengikuti tahap pertama kesadaran, dan tahap kedua penyerahan, tidak diragukan lagi terkait dengan penegakan hukum perintah ilahi, daripada menawarkan ritual shalat itu sendiri. Ini persis dengan pola Misi Nabi Abraham yang digabungkan juga, oleh kata tersebut dalam Ayat ke-37, tentang pendirian Sholat.

Jadi, semoga hal ini dapat menjadi perhatian kita semua pada ideologi secara eksklusif dan atas hukum alam ilahi di mana manusia diciptakan. Hukum alam Ilahi tidak bisa diubah. Ini adalah ideologi yang tegas/otentik, namun mayoritas tidak menyadarinya.

Berkonsentrasilah sepenuhnya padanya dengan semangat dan berhati-hatilah serta waspada, mendirikan Shalat dan jangan seperti kaum Musyrikin yang membagi ideologi mereka menjadi beberapa bagian dan menjadi sektarian, setiap sekte merasa bahagia dengan cara mereka masing-masing.

Tidak ada dalam ayat-ayat ini yang mungkin membutuhkan tingkat kecerdasan yang lebih tinggi untuk memahaminya. Hal yang sederhana dan langsung dengan penjelasan bahwa Tuhan telah menciptakan manusia di bawah hukum-Nya dan hukum yang sama adalah ideologi ketuhanan. Tuhan telah menganugerahkan manusia dengan segala kemampuan. Dan bahwa Tuhan tidak mengubah hukum alam milik-Nya tetapi mayoritas manusia tetap tidak menyadarinya. Jika hukum alam Ilahi bersemangat diikuti, kita dapat mencapai ideologi yang tegas/otentik (Dinul qayyim). Selain itu, ketetapan Tuhan bahwa kita mendirikan shalat, dan bahwa kita tidak menjadi musyrik), jelas memberitahu kita bahwa sholat tepatnya berarti mereka yang mengikuti perintah ilahi di mana tidak ada infiltrasi apapun yang diizinkan. Kapanpun manusia memalsukannya dengan buatan manusia, dia terbelah menjadi sekte (partai), dan tidak ada akhir untuk perpecahan ini. Setiap generasi yang akan datang, dan setiap sarjana terdahulu, menciptakan beberapa perbedaan yang lebih banyak, dan semakin menjauh dari perintah yang asli. Tapi tetaplah merasa bahagia atas perbedaan dari cara dan karya mereka.

 Untuk lebih jelas bisa dilihat dalam tulisan lengkap mengenai shalat dalam link ini atau masuk ke halaman download untuk melihat artikel lainnya.


[1] QS 39: 3

[2] QS 6: 161

[3] QS 98: 3

Popular posts from this blog

Risalah Kebohongan: BAB II — KECELAKAAN BESAR BAGI PARA PEMBOHONG

Attitude, Aptitude dan Altitude

Al Fatihah dan AlFath: Membuka Kemenangan