Self Awareness Menuntun kepada God conscious

 

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.

(Q.S. al-A’raf: 201).

 

Keterbukaan pikiran (Open mindedness) melibatkan penerimaan terhadap berbagai macam ide, argumen, dan informasi. Berpikiran terbuka umumnya dianggap sebagai kualitas positif. Ini adalah kemampuan yang diperlukan untuk berpikir kritis dan rasional. Dalam kaitan dengan berfikir (kritis dan rasional) ini pula, banyak sekali ayat dalam kitab Suci Alquran untuk mengajak kepada para pembacanya guna berfikir yang diwakili oleh beberapa kata seperti fikir (tafakur, yatafakaruun), aqal (ta’qiluun, ya’qiluun), dabir (Taddabur, yatadabbaruun), dan faqih (yafqahuun).  

Dalam tulisan ini, semoga kita bisa membuka fikiran untuk sama-sama mengkaji satu makna kata yang mashur dalam al-Islam, yaitu kata taqwa.

Taqwa sering diterjemahkan dengan kata takut, kesalehan, adil dan kebenaran[1]. Dari sumber yang sama, diketahui bahwa kata taqwa (wau qaf ya), terjadi sebanyak 258 kali dalam 8 bentuk/variasi kata dalam al-qur’an dengan makna pastinya disesuaikan dengan konteks kalimatnya.

 

Pengertian Taqwa

Kata Taqwa menurut bahasa terambil dari bentuk isim: al-tuqa, sedangkan masdarnya adalah al-Ittiqa terambil dari asal kata waqa, waqya,wa waqayatan yang berarti menjaga atau melindungi  atau sesuatu yang dijadikan sebagai sarana untuk menghindarkan diri dari sesuatu yang membahayakan. Dengan demikian al-wiqayah artinya pelindung sesuatu[2].

Dalam sumber yang sama yang telah disebutkan di atas, juga terdapat penerjamahan kata taqwa khususnya dalam QS 6: 32, kata yattaquun sebagai God conscious (kesadaran akan Tuhan). Sementara itu Maram Behairy menjelaskan kata taqwa sebagai kesadaran diri, kejelasan tentang apa yang Anda inginkan, dan kejelasan tentang cara mendapatkannya. Ini adalah lambang kehendak bebas dan hak pilihan. Ini adalah memutuskan siapa yang Anda inginkan dan menciptakan kehidupan yang memungkinkan Anda menjadi persis seperti itu, dengan anggun dan mudah[3].  

Dalam Wikipedia, makna taqwa adalah ditemukan sebagai berikut: taqwa (Arabic: تقوىtaqwā / taqwá) is an Islamic term for being conscious and cognizant of God, of truth, "piety, fear of God." It is often found in the Quran. Those who practice taqwa — in the words of Ibn Abbas, "believers who avoid Shirk with Allah and who work in His obedience" — are called muttaqin (Arabic: المُتَّقِينal-muttaqin). Sementara itu Muslim Assosiaciation of Britain dalam situsnya, menjelaskan taqwa sebagai awareness of God (kesadaran kepada Tuhan) di luar makna lain, seperti: “fear of God,” though not with the usual meaning of “fear.[4]God consciousness juga menjadi kata terjemah untuk taqwa dalam buku Deen-ul-Sujanaa': The Prisoners’ Guide to Proper Islamic Life: Nineteen Steps to True Probation and Parole[5].

Bagi penulis sendiri, pengertian taqwa sebagai sebuah kesadaran (self awareness dan juga awareness of God), adalah hal baru yang sebelumnya lebih kepada pemahaman yang mendekati makna “takut kepada Allah” dengan pengertian bukan sebagaimana takut kepada manusia. Takut di sini adalah dengan implikasi berusaha berbuat baik atau amal shalih dengan melaksanakan perintahnya dan menjauhkan diri dari larangan-Nya.

Mengapa pengertian ini menarik bagi penulis?

Kesadaran, merupakan salah satu topik besar dalam psikologi. Dikenal, secara umum ada yang disebut dengan conscious (kesadaran) dan subconscious (bawah sadar). Pembaca budiman, mungkin juga sudah pernah membaca bahwa justru bawah sadar kita lebih dominan (88%) dibanding dengan kesadaran (12%) kita[6].  Dalam penelitian sebagaimana saya sebutkan dalam sumber foot note di atas, bahwa kekuatan alam bawah sadar yang mencapai 88% dari total otak dan pikiran sadar hanya 12%. Kapasitas pemrosesan kesadaran hanya 2.000 bit informasi per detik dibandingkan dengan 400 miliar bit per detik dari alam bawah sadar. Alam bawah sadar  200 juta kali lebih cepat dalam memproses informasi daripada pikiran sadar yang lambat.  Dan, ini menjadikan betapa dahsyatnya fikiran bawah sadar kita. Silakan pembaca yang budiman dapat mendalami diskursus ini dari berbagai sumber yang tersedia yang memahamkan kita bagaimana fikiran bawah sadar kita sangat menentukan cara berfikir, bersikap dan bertindak dari apapun yang berkaitan dengan kehidupan kita saat ini. Fikiran bawah sadar justru yang akan menentukan kesuksesan kita dalam hidup ini.

Dalam tulisan singkat ini, penulis hanya hendak berbagi soal kesadaran (akan) diri atau self awareness dan keadaran akan Tuhan  (God consciousness).

Bagaiamana kedudukan taqwa dalam kehidupan? Marilah kita simak beberapa keterangan dalam alquranul kariim di bawah ini.

 

1.     Perlindungan diri

Ketika kata waqaya yang mendasari kata taqwa difahami sebagai pelindung diri dari marabahaya. Misal, ketika kita berlatih tinju kita menggunakan pelindung muka untuk menghindari bahaya yang terjadi dari pukulan yang menghujam kepala kita. Makna ini akan memudahkan pengertian ketika dijelaskan mengenai pakaian taqwa (libasut- taqwa, QS 7: 26) yang memahamkan bahwa ketaqwaan sebagai pakaian yang paling indah. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa “Allah telah menurunkan untukmu pakaian untuk menutup auratmu dan sebagai perhiasan”.   Fungsi pakaian dijelaskan untuk melindungi aurat dan juga sebagai perhiasan (keindahan). Ayat  ini oleh Aungrazeb Yousufzai sebagai metaphor bahwa pakaian sebagai suatu perilaku (Libaas- لباس)  yang menyembunyikan kejahatan ( سَوْآتِكُمْ) Anda dan membawa kebaikan (رِيشًا) dari Anda, dan itu adalah perilaku kehati-hatian (taqwaa) yang terbaik. Dari penjelasan ini, libasut-taqwa sebagai perilaku kehati-hatian.

Layaknya pelindung diri, taqwa adalah kesadaran diri dalam berperilaku. Satu contoh, ketika kita dilarang untuk melenyapkan jiwa seseorang baik dalam arti membunuh atau merusak atau menghilangkan karakter seseorang, maka kita senatiasa berada dalam kesadaran atau kewaspadaan atau kehati-hatian dalam berperilaku yang dapat melenyapkan jiwa seseorang. Kesadaran diri untuk tidak berperilaku yang merugikan jiwa seseorang akan terpatri dalam seorang muslim, sehingga dalam bawah sadarnya dia berusaha untuk menghindari perilaku-perilaku yang mendekatkan diri kepada hal yang merugikan orang lain.

Perlindungan diri, taqwa, yang dikaitakan dengan pakaian, ini pun terjadi dalam QS 16: 81, “Dan Allah menjadikan untukmu, dari apa yang Dia ciptakan, bayangan dan menjadikan untukmu dari gunung-gunung, tempat berlindung dan menjadikan untukmu pakaian yang melindungimu (تَقِيكُمُ) dari panas dan pakaian yang melindungimu (تَقِيكُمُ) dari [musuh dalam] pertempuranmu. Demikianlah Dia menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu tunduk [kepada-Nya]”.

Sebagai alat pelindung inilah maka, dalam keterangan qs 7: 201 disebutkan ciri orang yang menjadikan self awareness sebagai alat pelindung diri, ketika mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.   

 

2.     Lawan dari self awareness adalah self-sufficient

Dalam QS 92: 5 dan 8 kita dapat menemukan lawan dari kata taqwa (dalam ayat ini disebutkan dengan kata ittaqa (اتَّقَىٰ)), yaitu merasa cukup, tidak lagi membutuhkan apa-apa (اسْتَغْنَىٰ). Dengan melihat antonim ini, kita bisa memahami bahwa bentuk kehati-hatian kita dalam setiap perilaku merupakan bentuk kesadaran diri bahwa manusia bukanlah makhluk yang sempurna, banyak kekurangan untuk itu kita diminta-Nya untuk senantiasa “bertaqwa”.  

 

3.     Modal terbaik Sekaligus sebagai Outcome Kehidupan.

Dalam QS 2: 197, kita menemukan penjelasan-Nya mengenai taqwa sebagai bekal terbaik  dalam kehidupan (فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ). Ayat ini menjelaskan mengenai persiapan Haji yang menekankan unsur kebaikan. Keterangan ini melengkapi pengertian taqwa dalam pengertian self awareness sebagai alat perlindungan diri sehingga kita berhati-hati dalam berkehidupan, juga menjadikannya sebagai bekal atau perlengkapan atau modal yang utama dalam kehidupan. Kesadaran akan diri dapat difahami ketika kita memahami diri (kedudukan, tugas-fungsi, dan tujuan) dalam menjalani kehidupan.

Modalitas taqwa ini akan menyertai orang-orang beriman[7], berilmu[8] dan dalam hal beribadah[9]. Modalitas taqwa ini pun dicirikan kepada keimanan baik kepada hal yang ghaib, kitab-kitab-Nya, dan hari  akhir juga serangkaian pekerjaan seperti shalat dan menolong sesama[10] dan di ayat lain disebutkan lebih lengkap lagi bagaimana awareness menyertai dalam setiap aspek kehidupan, seperti: beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa[11]. Dua ayat di atas menjelaskan begitu lengkap berbagai kondisi: keimanan, ibadah dan muamalah termasuk pengembangan diri harus menyertakan awareness kita baik pada diri ataupun kepada Allah Swt.  

Taqwa, kesadaran ini pun pada akhirnya menjadi outcome (hasil akhir) dari kegiatan peribadatan kita[12], seperti shaum di bulan Ramadhan[13], dengan pernyataan la’alakum tattaquun (artinya: agar kalian bertaqwa).  Demikian juga dalam hal beragama, disebutkan dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa[14]. Hal yang sama ditekankan ketika harus memegang teguh apapun yang telah Allah turunkan sebagai tuntunan[15]. Taqwa sebagai modalitas juga sekaligus sebagai outcome dalam bermuamalah dapat dilihat dalam kasus hukum qishas[16], pampasan perang[17], thalaq[18],  riba[19], perjanjian[20], perundingan atau musyawarah[21], kepemimpinan[22], persaksian/sumpah dan keadilan[23], silaturahmi/akhlak bersosial[24], tolong menolong[25], dan pekerjaan (contoh pertanian)[26], makanan[27], penggunaan nikmat-Nya[28], perencanaan[29], dan sebagainya.  

4.     Kesadaran adalah Perintah Allah

Banyak perintah dalam alquran untuk menuju kepada kesadaran kepada Allah (Taqwa), dengan lafadz: ittaqullah. Sebagai contoh ayat berikut ini: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam[30]. Perintah ini menegaskan taqwa, yaitu kesadaran kita kepada Allah menjadi hal pokok dalam keberislaman kita.

Perintah taqwa kepada-Nya, hal ini pula yang oleh semua utusan-Nya menjadi seruan bagi kaumnya seperti, Nabi Nuh, Hud, Saleh, Syua’ib dan Luth[31] , Musa dan Haruun[32], dan Nabi Isa[33].

Mengapa Allah memerintahkan mengenai kesadaran kepada Manusia?

Persepsi, fikiran, penerimaan atas pengetahuan, dan diperolehnya pemahaman bahkan sikap dan tindakan Perintah dimulai dengan kesadaran. Kesadaran ini pula yang akan menentukan pada akhirnya kita mengabaikan atau menindaklanjuti suatu hal yang baik pengaruhnya buat kita. Kesadaran ini pula yang akan menentukan baik atau buruknya suatu fikiran dan tindakan kita. Allah dengan rubbubiyah-Nya setelah menciptakan manusia, juga melakukan pembinaan, perawatan dan juga kasih-sayang-Nya kepada manusia. Tak ada kesia-siaan pada panciptaan-Nya[34]. Dalam setiap penciptaan sudah disiapkan petunjuk-Nya[35], termasuk manusia. Ketundukan atau ketaatan[36] dalam bentuk shalat dan tasbih dalam Al-qur‘an juga berlaku bagi makhluk lain, apa yang ada di langit dan di bumi, Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya[37] seperti gunung[38], burung[39] dan lainnya. 

Dan segala (urusan) yang kecil maupun yang besar adalah tertulis[40]. Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.[41]

Dengan demikian, perintah ini didasarkan kepada Allah dengan  Rubbubiyah-Nya juga segala kemaha-an Allah Swt yang terhimpun dalam asmaul husna. Beberapa perintah-Nya berkaitan dengan kesadaran ini ditutup dengan penegasan asma-Nya, seperti  yang Maha Mengetahui dan melihat atas apapun yang diperbuat manusia[42], Maha Mengetahui  dan Mendengar[43], Maha Menjaga dan Mengawasi[44]. Perintah ini juga sekaligus mengingatkan manusia akan berat dan kerasnya siksa Allah, kelak[45]. Perintah ini juga sekaligus sebagai bentuk kasih sayang-Nya kepada manusia dalam menempuh kehidupan. Perintah kepada manusia untuk mengembangkan self awareness adalah maujud dari Maha Pemaaf dan kasih sayang-Nya[46]. Sebagai catatan juga bahwa perintah Allah mengenai kesadaran ini pun dalam beberapa ayat dilanjutkan dengan kata wa’lamu (dan ketahuilah) atau wasma’u (dan dengarkanlah) sebagai penekanan akan rubbubiyah dan kemaha-an-Nya. Dijelaskan juga bahwa perintah taqwa ini adalah cara Allah dalam memberikan pelajaran[47] dan pastinya tak akan mendatangkan kesulitan bagi manusia[48], justru kemudahan[49].

Dan perintah Allah mengenai kesadaran akan perlunya kehati-hatian atau perlindungan diri, bekal dan outcome dalam kehidupan, ditegaskan-Nya bahwa pada akhirnya mereka akan kembali kepada-Nya[50].

 

5.     Buah Kesadaran adalah Kebaikan, Kesyukuran dan Kesuksesan  

Pada akhirnya kesadaran manusia akan diri dan Allah, akan mendatangkan keselamatan pada manusia, sebagaimana nama Dinul Islam yang juga berarti selamat.

Berikut adalah rangkuman dari ayat-ayat Allah ketika manusia berada dalam kesadaran yang sebenarnya, maka berbagai kondisi kebaikan atau rahmat[51] diperoleh, seperti:


 


  Gambar 1: Rangkuman kebaikan yang ditimbulkan dari kesadaran

Berikutnya adalah kesuksesan (dalam alquran disebutkan sebagai “Al-muflihuun”)[52]. Salah satu ayat menjelasakan, “ Maka bertakwalah kepada Allah semampumu dan dengarkanlah dan taatilah dan berinfaqlah [di jalan Allah]; itu lebih baik untuk dirimu sendiri. Dan barang siapa yang terlindung dari kekikiran jiwanya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”(QS 64: 16)

The last but not the least mereka yang mempunyai tingkat kesadaran yang tinggi adalah akan beroleh kesyukuran[53]. Telah dijelaskan bahwa berbagai kebaikan termasuk kemenangan atau kesuksesan adalah buah dari kesadaran atas diri dan Tuhannya. Maka layaklah kita bersyukur atas nikmat-Nya ini, sebagaimana Allah berfirman, “Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya.”(QS 3: 123)

 

Self awareness akan menuntun kepada God consciousness

Self (diri), dalam bahasa alqur’an adalah nafs. Self telah menjadi kajian penting dalam ilmu psikologi. Cendekiawan Muslim Muhammad  Iqbal adalah salah satu tokoh Muslim yang mengabdikan diri-nya dalam penelusuran mengenai diri ini. Kajian nafs dalam kaitannya sebagai salah satu kelengkapan manusia di luar kelengkapan fisik, sebagai penerima hidayah-Nya telah penulis bahas dalam Buku Merancang Perjalanan Indah yang menjelaskan mengenai 4 prinsip Hidayah. Yang ingin saya sampaikan di sini adalah  bagaimana nafs menjadi faktor penting yang harus diketahui manusia dan menjadi penentu dalam pemeliharaan tauhidullah.

Berikut adalah karakteristik nafs:

Gambar 2 Karakteristik Nafs dalam kaitannya dengan Fitrah manusia untuk bertauhid serta Nafs yang melakukan kesaksian dan menerima hidayah

Keterangan:

        Terma nafs termasuk unsur utama dari manusia, bahkan ada yang mengatakan sebagai intisari dari manusia.[54] Hampir semua ulama, kaum sufi dan filosof muslim ikut berbicara tentangnya dan menganggapnya sebagai bagian yang lebih dahulu diketahui oleh seorang manusia. Dimensi nafs atau jiwa dalam Islam lebih tinggi dari sekedar dimensi fisik dan merupakan bagian dari metasfisika. Ia merupakan penggerak dari seluruh aktifitas fisik manusia.[55] Meskipun saling membutuhkan antara jiwa dan jasad tanpa harus dipisahkan, namun peran jiwa akan lebih banyak mempengaruhi jasad.[56]

        Dalam QS 7: 172, diperoleh informasi bahwa nafs lah yang melakukan kesaksian dengan Allah Swt di alam Rahim.

        Berikutnya Allah memilihkan dinul Islam sebagai agama yang sesuai fitrah kejadian manusia (QS 30:30 dan 2: 132

        Nafs sendiri yang menerima hidayah-Nya (QS 32:13) dalam kaitannya dengan Agama Islam diistilahkan dengan Allah membuka dada manusia (QS 6: 1125 dan 39: 22)

 

Dengan kelengkapan di atas, manusia diharapkan dapat mempertahankan fitrah kejadian manusia, yaitu fitrah bertauhid. Namun demikian dari aspek internal, Allah telah memberikan peringatan mengenai adanya sejumlah karakter “buruk” yang melekat pada manusia. Di sinilah perlunya PELINDUNG DIRI, berupa SELF AWARENESS dan AWARENESS of GOD.

Berikut sejumlah karakater manusia yang mesti diwaspadai sesuai dengan informasi dari al-Quranul Kariim, sebagaimana ditampilkan dalam Gambar di bawah ini:




Gambar 3 Gambaran karakter manusia menurut Al-Qur‘an

 

Dengan demikian, semoga kita dapat memahami maksud ungkapan ketika kita dapat mengenali diri kita dalam bentuk kesadaran akan diri (self awareness) maka hal ini pula yang akan menuntun kita kepada Tuhan dalam bentuk taqwa sebenar-benarnya taqwa (Conscious of God).

Akihrul kalam, semoga juga kita dapat memahami dimaksud dari ayat yang ditampilkan di awal tulisan ini bahwa sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. (Q.S. al-A’raf: 201).

 

Semoga bermanfaat!

 

Garut, 27 Desember 2021

 



[2] Ikrar, 2016, Konsep Khauf dalam AlQur’an, Tesis, Isntitut Perguruan Tinggi Ilmu Alquran, Jakarta.

[3] Terjemahan dari link https://soflomuslims.com/taqwa/

[5] Karya Shaykh Ali Jai Al-Zakar, Lulu Press, Inc, May 14, 2019

[6] Penelitian dari University of Pennsylvania, School of Medicine.

[7] Surat Al-Ma'idah (5) ayat 57, Surat Al-Ma'idah (5) ayat 112, dan Surat Al-Anfal (8) ayat 1

[8] Surat Al-Ankabut (29) ayat 16

[9] Surat Al-Baqarah (2) ayat 21

[10] Surat Al-Baqarah (2) ayat 2, 3, dan 4

[11] Surat Al-Baqarah (2) ayat 177

[12] Surat Al-Baqarah (2) ayat 21

[13] Surat Al-Baqarah (2) ayat 183

[14] Surat Al-An'am (6) ayat 153

[15] Surat Al-‘Araf (7) ayat 171

[16] Surat Al-Baqarah (2) ayat 179

[17] Surat Al-anfal (8): ayat 69; QS 59: 7

[18] Surat At-thalaq (65) ayat 1

[19] Surat Al-Imran (3) ayat 130

[20] Surat Al-Baqarah (2) ayat 63, QS 5 : 108

[21] Surat Al-Mujadillah (58) ayat 9

[22] Surat Al-Maidah (5) ayat 57

[23] Surat Al-Maidah (5) ayat 8

[24] Surat AN-Nisa (4) ayat 1 ; QS 49 : 10, 12

[25] Syrat Al-Maidah (5) ayat 2

[26] Surat Al-Baqarah (2) ayat 266

[27] Syrat Al-Maidah (5) ayat 4, 88, 96

[28] Syrat Al-Maidah (5) ayat 11

[29] Surat Al-Hasyr (59) ayat 18

[30] Surat Al-Imran (3) ayat 102

[31] Surat Asy-Syu'ara' (26) Ayat 108, 126, 144, 163 dan 179

[32] Surat Al-Imran (3) ayat 50

[33] Surat Az-Zukhruf (43) ayat 63

[34] Surat Alimran (3) : 191

[35] Surat Thaha (20): 50

[36] QS 38:19

[37] QS 24:41, 17:44

[38] QS 21:79, 34:10

[39] QS 38:19

[40] QS 54: 53

[41] QS 6:38

[42] Surat Al-Maidah (5): 8 ;  Surat Al-Mujadillah (59) ayat 18 ; Surat Al-Baqarah (2): 231, 233, 282 ; Al-Imran (3): 120

[43] Surat Al-Hujurat (49) ayat 1; Surat Al-Maidah (5): 7 

[44] Surat An-Nisa (4) : 1

[45] Surat Al-Baqarah (2) : 196 ; Surat Al-Maidah (5) : 2 dan 4 ; Al-Mujadilah (59): 7

[46] Surat Al-anfal (8): ayat 69 dan Surat Al-Hujurat (49) ayat 12 ; Surat An-Nisa (4) ayat 129

[47] Surat Al-Baqarah (2) ayat 282

[48] Surat Ali-Imran (3) ayat 120

[49] Surat At-Talaq (65) ayat 2 dan 4

[50] Surat Al-Baqarah (2): 203, 223 ; Surat Al-Mujadilah (58): 9

[51] Surat Al-Hujurat (49) ayat 10 dan Surat Al-An'am (6) ayat 155

[52] Surat Al-Baqarah (2) ayat 189; Surat Ali-Imran (3) ayat 130 dan 200; Surat Al-Ma'idah (5) ayat 35 dan 100;

[53] Surat Ali-Imran (3) ayat 123

[54]Harun Nasution, Falsafat dan Misticisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 13, dikutip dari (Muhid, April 2008)

[55]Muhammad Ustman Najjati, Ad-Dirasat al-Nafsaniyah ‘inda al-‘Ulama al-Muslimin, (Kairo, Darul Asy-Syuruq, 1993), h. 118, dikutip dari (Muhid, April 2008)

[56] Fazlur Rahman, Avecenna’s Psychology, (London , Oxford University, 1952), h. 199-200. dikutip dari (Muhid, April 2008)

Popular posts from this blog

Risalah Kebohongan: BAB II — KECELAKAAN BESAR BAGI PARA PEMBOHONG

Attitude, Aptitude dan Altitude

Al Fatihah dan AlFath: Membuka Kemenangan