Self Awareness Menuntun kepada God conscious
Sesungguhnya
orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan,
mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat
kesalahan-kesalahannya.
(Q.S.
al-A’raf: 201).
Keterbukaan pikiran (Open
mindedness) melibatkan penerimaan terhadap berbagai macam ide, argumen, dan
informasi. Berpikiran terbuka umumnya dianggap sebagai kualitas positif. Ini adalah kemampuan yang diperlukan untuk berpikir
kritis dan rasional. Dalam kaitan dengan berfikir (kritis dan rasional) ini
pula, banyak sekali ayat dalam kitab Suci Alquran untuk mengajak kepada para
pembacanya guna berfikir yang diwakili oleh beberapa kata seperti fikir (tafakur,
yatafakaruun), aqal (ta’qiluun, ya’qiluun), dabir (Taddabur,
yatadabbaruun), dan faqih (yafqahuun).
Dalam tulisan ini, semoga kita bisa membuka fikiran untuk sama-sama mengkaji
satu makna kata yang mashur dalam al-Islam, yaitu kata taqwa.
Taqwa sering diterjemahkan dengan kata takut, kesalehan, adil dan kebenaran[1].
Dari sumber yang sama, diketahui bahwa kata taqwa (wau qaf ya), terjadi
sebanyak 258 kali dalam 8 bentuk/variasi kata dalam al-qur’an dengan makna
pastinya disesuaikan dengan konteks kalimatnya.
Pengertian Taqwa
Kata Taqwa menurut bahasa terambil dari bentuk isim: al-tuqa,
sedangkan masdarnya adalah al-Ittiqa terambil dari asal kata waqa,
waqya,wa waqayatan yang berarti menjaga atau melindungi atau sesuatu yang dijadikan sebagai sarana
untuk menghindarkan diri dari sesuatu yang membahayakan. Dengan demikian al-wiqayah
artinya pelindung sesuatu[2].
Dalam sumber yang sama yang telah disebutkan di atas, juga terdapat
penerjamahan kata taqwa khususnya dalam QS 6: 32, kata yattaquun sebagai
God conscious (kesadaran akan Tuhan). Sementara itu Maram Behairy menjelaskan
kata taqwa sebagai kesadaran diri, kejelasan tentang apa yang Anda inginkan,
dan kejelasan tentang cara mendapatkannya. Ini adalah lambang kehendak bebas
dan hak pilihan. Ini adalah memutuskan siapa yang Anda inginkan dan menciptakan
kehidupan yang memungkinkan Anda menjadi persis seperti itu, dengan anggun dan
mudah[3].
Dalam Wikipedia, makna
taqwa adalah ditemukan sebagai berikut: taqwa (Arabic: تقوى taqwā / taqwá) is an Islamic
term for being conscious and cognizant of God, of truth, "piety, fear of
God." It is often found in the Quran. Those who practice taqwa — in the
words of Ibn Abbas, "believers who avoid Shirk with Allah and who work in
His obedience" — are called muttaqin (Arabic: المُتَّقِين al-muttaqin). Sementara
itu Muslim Assosiaciation of Britain dalam situsnya, menjelaskan taqwa sebagai awareness
of God (kesadaran kepada Tuhan) di luar makna lain, seperti: “fear of God,” though not with the usual
meaning of “fear.[4]” God
consciousness juga menjadi kata terjemah untuk taqwa dalam buku Deen-ul-Sujanaa':
The Prisoners’ Guide to Proper Islamic Life: Nineteen Steps to True Probation
and Parole[5].
Bagi penulis sendiri, pengertian taqwa sebagai sebuah kesadaran (self
awareness dan juga awareness of God), adalah hal baru yang sebelumnya
lebih kepada pemahaman yang mendekati makna “takut kepada Allah” dengan
pengertian bukan sebagaimana takut kepada manusia. Takut di sini adalah dengan
implikasi berusaha berbuat baik atau amal shalih dengan melaksanakan
perintahnya dan menjauhkan diri dari larangan-Nya.
Mengapa pengertian ini menarik bagi
penulis?
Kesadaran, merupakan salah satu topik
besar dalam psikologi. Dikenal, secara umum ada yang disebut dengan conscious
(kesadaran) dan subconscious (bawah sadar). Pembaca budiman, mungkin
juga sudah pernah membaca bahwa justru bawah sadar kita lebih dominan (88%)
dibanding dengan kesadaran (12%) kita[6].
Dalam penelitian sebagaimana saya
sebutkan dalam sumber foot note di atas, bahwa kekuatan alam bawah sadar yang mencapai 88% dari total
otak dan pikiran sadar hanya 12%. Kapasitas pemrosesan kesadaran hanya 2.000
bit informasi per detik dibandingkan dengan 400 miliar bit per detik dari alam
bawah sadar. Alam bawah sadar 200 juta
kali lebih cepat dalam memproses informasi daripada pikiran sadar yang lambat. Dan,
ini menjadikan betapa dahsyatnya fikiran bawah sadar kita. Silakan pembaca yang
budiman dapat mendalami diskursus ini dari berbagai sumber yang tersedia yang
memahamkan kita bagaimana fikiran bawah sadar kita sangat menentukan cara
berfikir, bersikap dan bertindak dari apapun yang berkaitan dengan kehidupan kita
saat ini. Fikiran bawah sadar justru yang akan menentukan kesuksesan kita dalam
hidup ini.
Dalam tulisan singkat
ini, penulis hanya hendak berbagi soal kesadaran (akan) diri atau self awareness
dan keadaran akan Tuhan (God consciousness).
Bagaiamana kedudukan
taqwa dalam kehidupan? Marilah kita simak beberapa keterangan dalam alquranul
kariim di bawah ini.
1. Perlindungan
diri
Ketika kata waqaya
yang mendasari kata taqwa difahami sebagai pelindung diri dari marabahaya. Misal,
ketika kita berlatih tinju kita menggunakan pelindung muka untuk menghindari
bahaya yang terjadi dari pukulan yang menghujam kepala kita. Makna ini akan memudahkan
pengertian ketika dijelaskan mengenai pakaian taqwa (libasut- taqwa, QS
7: 26) yang memahamkan bahwa ketaqwaan sebagai pakaian yang paling indah. Dalam
ayat ini dijelaskan bahwa “Allah telah menurunkan untukmu pakaian untuk menutup
auratmu dan sebagai perhiasan”. Fungsi pakaian dijelaskan untuk melindungi aurat
dan juga sebagai perhiasan (keindahan). Ayat
ini oleh Aungrazeb Yousufzai sebagai metaphor bahwa pakaian sebagai suatu
perilaku (Libaas- لباس) yang
menyembunyikan kejahatan ( سَوْآتِكُمْ)
Anda dan membawa kebaikan (رِيشًا)
dari Anda, dan itu adalah perilaku kehati-hatian (taqwaa) yang terbaik. Dari
penjelasan ini, libasut-taqwa sebagai perilaku kehati-hatian.
Layaknya pelindung diri,
taqwa adalah kesadaran diri dalam berperilaku. Satu contoh, ketika kita
dilarang untuk melenyapkan jiwa seseorang baik dalam arti membunuh atau merusak
atau menghilangkan karakter seseorang, maka kita senatiasa berada dalam
kesadaran atau kewaspadaan atau kehati-hatian dalam berperilaku yang dapat
melenyapkan jiwa seseorang. Kesadaran diri untuk tidak berperilaku yang
merugikan jiwa seseorang akan terpatri dalam seorang muslim, sehingga dalam
bawah sadarnya dia berusaha untuk menghindari perilaku-perilaku yang
mendekatkan diri kepada hal yang merugikan orang lain.
Perlindungan diri, taqwa,
yang dikaitakan dengan pakaian, ini pun terjadi dalam QS 16: 81, “Dan Allah
menjadikan untukmu, dari apa yang Dia ciptakan, bayangan dan menjadikan untukmu
dari gunung-gunung, tempat berlindung dan menjadikan untukmu pakaian yang melindungimu
(تَقِيكُمُ)
dari panas dan pakaian yang melindungimu (تَقِيكُمُ) dari [musuh dalam]
pertempuranmu. Demikianlah Dia menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu
tunduk [kepada-Nya]”.
Sebagai alat pelindung
inilah maka, dalam keterangan qs 7: 201 disebutkan ciri orang yang menjadikan self
awareness sebagai alat pelindung diri, ketika mereka ditimpa was-was
dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat
kesalahan-kesalahannya.
2. Lawan
dari self awareness adalah self-sufficient
Dalam QS 92: 5 dan 8 kita
dapat menemukan lawan dari kata taqwa (dalam ayat ini disebutkan dengan kata ittaqa
(اتَّقَىٰ)),
yaitu merasa cukup, tidak lagi membutuhkan apa-apa (اسْتَغْنَىٰ). Dengan melihat antonim
ini, kita bisa memahami bahwa bentuk kehati-hatian kita dalam setiap perilaku merupakan
bentuk kesadaran diri bahwa manusia bukanlah makhluk yang sempurna, banyak
kekurangan untuk itu kita diminta-Nya untuk senantiasa “bertaqwa”.
3. Modal
terbaik Sekaligus sebagai Outcome Kehidupan.
Dalam QS 2: 197, kita menemukan
penjelasan-Nya mengenai taqwa sebagai bekal terbaik dalam kehidupan (فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ).
Ayat ini menjelaskan mengenai persiapan Haji yang menekankan unsur kebaikan.
Keterangan ini melengkapi pengertian taqwa dalam pengertian self awareness sebagai
alat perlindungan diri sehingga kita berhati-hati dalam berkehidupan, juga menjadikannya
sebagai bekal atau perlengkapan atau modal yang utama dalam kehidupan. Kesadaran
akan diri dapat difahami ketika kita memahami diri (kedudukan, tugas-fungsi,
dan tujuan) dalam menjalani kehidupan.
Modalitas taqwa ini akan
menyertai orang-orang beriman[7], berilmu[8] dan dalam hal beribadah[9].
Modalitas taqwa ini pun dicirikan kepada keimanan baik kepada hal yang ghaib, kitab-kitab-Nya,
dan hari akhir juga serangkaian
pekerjaan seperti shalat dan menolong sesama[10] dan di ayat lain
disebutkan lebih lengkap lagi bagaimana awareness menyertai dalam setiap
aspek kehidupan, seperti: beriman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan)
hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang
menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang
benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa[11]. Dua ayat di atas
menjelaskan begitu lengkap berbagai kondisi: keimanan, ibadah dan muamalah
termasuk pengembangan diri harus menyertakan awareness kita baik pada
diri ataupun kepada Allah Swt.
Taqwa, kesadaran ini pun pada
akhirnya menjadi outcome (hasil akhir) dari kegiatan peribadatan kita[12], seperti shaum di bulan
Ramadhan[13],
dengan pernyataan la’alakum tattaquun (artinya: agar kalian bertaqwa). Demikian juga dalam hal beragama, disebutkan dan
bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah
dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan
itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan
Allah agar kamu bertakwa[14].
Hal yang sama ditekankan ketika harus memegang teguh apapun yang telah Allah
turunkan sebagai tuntunan[15]. Taqwa sebagai modalitas juga
sekaligus sebagai outcome dalam bermuamalah dapat dilihat dalam kasus hukum
qishas[16], pampasan perang[17], thalaq[18], riba[19], perjanjian[20], perundingan atau
musyawarah[21],
kepemimpinan[22],
persaksian/sumpah dan keadilan[23], silaturahmi/akhlak
bersosial[24],
tolong menolong[25],
dan pekerjaan (contoh pertanian)[26], makanan[27], penggunaan nikmat-Nya[28], perencanaan[29], dan sebagainya.
4. Kesadaran
adalah Perintah Allah
Banyak perintah dalam
alquran untuk menuju kepada kesadaran kepada Allah (Taqwa), dengan lafadz: ittaqullah.
Sebagai contoh ayat berikut ini: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu
mati melainkan dalam keadaan beragama Islam[30].
Perintah ini menegaskan taqwa, yaitu kesadaran kita kepada Allah menjadi hal
pokok dalam keberislaman kita.
Perintah taqwa kepada-Nya,
hal ini pula yang oleh semua utusan-Nya menjadi seruan bagi kaumnya seperti, Nabi
Nuh, Hud, Saleh, Syua’ib dan Luth[31] , Musa dan Haruun[32], dan Nabi Isa[33].
Mengapa Allah
memerintahkan mengenai kesadaran kepada Manusia?
Persepsi, fikiran,
penerimaan atas pengetahuan, dan diperolehnya pemahaman bahkan sikap dan
tindakan Perintah dimulai dengan kesadaran. Kesadaran ini pula yang akan
menentukan pada akhirnya kita mengabaikan atau menindaklanjuti suatu hal yang
baik pengaruhnya buat kita. Kesadaran ini pula yang akan menentukan baik atau
buruknya suatu fikiran dan tindakan kita. Allah dengan rubbubiyah-Nya setelah
menciptakan manusia, juga melakukan pembinaan, perawatan dan juga
kasih-sayang-Nya kepada manusia. Tak ada kesia-siaan pada panciptaan-Nya[34].
Dalam setiap penciptaan sudah disiapkan petunjuk-Nya[35], termasuk
manusia. Ketundukan atau ketaatan[36] dalam bentuk shalat dan tasbih dalam Al-qur‘an juga
berlaku bagi makhluk lain, apa yang ada di langit dan di bumi, Masing-masing
telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya[37] seperti gunung[38], burung[39] dan lainnya.
Dan
segala (urusan) yang kecil maupun yang besar adalah tertulis[40]. Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di
bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat
(juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian
kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.[41]
Dengan demikian, perintah ini didasarkan kepada Allah dengan Rubbubiyah-Nya juga segala kemaha-an Allah Swt
yang terhimpun dalam asmaul husna. Beberapa perintah-Nya berkaitan dengan
kesadaran ini ditutup dengan penegasan asma-Nya, seperti yang Maha Mengetahui dan melihat atas apapun
yang diperbuat manusia[42], Maha
Mengetahui dan Mendengar[43], Maha Menjaga dan Mengawasi[44]. Perintah
ini juga sekaligus mengingatkan manusia akan berat dan kerasnya siksa Allah,
kelak[45]. Perintah
ini juga sekaligus sebagai bentuk kasih sayang-Nya kepada manusia dalam
menempuh kehidupan. Perintah kepada manusia untuk mengembangkan self awareness
adalah maujud dari Maha Pemaaf dan kasih sayang-Nya[46]. Sebagai catatan juga bahwa perintah Allah mengenai kesadaran
ini pun dalam beberapa ayat dilanjutkan dengan kata wa’lamu (dan
ketahuilah) atau wasma’u (dan dengarkanlah) sebagai penekanan akan rubbubiyah
dan kemaha-an-Nya. Dijelaskan juga bahwa perintah taqwa ini adalah cara Allah
dalam memberikan pelajaran[47]
dan pastinya tak akan mendatangkan kesulitan bagi manusia[48],
justru kemudahan[49].
Dan perintah Allah mengenai kesadaran akan perlunya kehati-hatian atau
perlindungan diri, bekal dan outcome dalam kehidupan, ditegaskan-Nya
bahwa pada akhirnya mereka akan kembali kepada-Nya[50].
5.
Buah
Kesadaran adalah Kebaikan,
Kesyukuran dan Kesuksesan
Pada akhirnya kesadaran manusia akan diri dan Allah, akan mendatangkan keselamatan
pada manusia, sebagaimana nama Dinul Islam yang juga berarti selamat.
Berikut adalah rangkuman dari ayat-ayat Allah ketika manusia berada dalam kesadaran
yang sebenarnya, maka berbagai kondisi kebaikan atau rahmat[51]
diperoleh, seperti:
Berikutnya adalah kesuksesan (dalam alquran disebutkan sebagai “Al-muflihuun”)[52]. Salah
satu ayat menjelasakan, “ Maka bertakwalah kepada Allah semampumu dan
dengarkanlah dan taatilah dan berinfaqlah [di jalan Allah]; itu lebih baik
untuk dirimu sendiri. Dan barang siapa yang terlindung dari kekikiran jiwanya,
maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”(QS 64: 16)
The last but not the
least mereka yang mempunyai tingkat kesadaran yang tinggi
adalah akan beroleh kesyukuran[53]. Telah dijelaskan bahwa
berbagai kebaikan termasuk kemenangan atau kesuksesan adalah buah dari kesadaran
atas diri dan Tuhannya. Maka layaklah kita bersyukur atas nikmat-Nya ini,
sebagaimana Allah berfirman, “Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar,
padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah
kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya.”(QS 3: 123)
Self awareness
akan menuntun kepada God consciousness
Self (diri),
dalam bahasa alqur’an adalah nafs. Self telah menjadi kajian penting
dalam ilmu psikologi. Cendekiawan Muslim Muhammad Iqbal adalah salah satu tokoh Muslim yang mengabdikan
diri-nya dalam penelusuran mengenai diri ini. Kajian nafs dalam kaitannya
sebagai salah satu kelengkapan manusia di luar kelengkapan fisik, sebagai
penerima hidayah-Nya telah penulis bahas dalam Buku Merancang Perjalanan
Indah yang menjelaskan mengenai 4 prinsip Hidayah. Yang ingin saya sampaikan
di sini adalah bagaimana nafs
menjadi faktor penting yang harus diketahui manusia dan menjadi penentu dalam pemeliharaan
tauhidullah.
Berikut adalah
karakteristik nafs:
Gambar 2 Karakteristik Nafs dalam kaitannya dengan Fitrah manusia untuk bertauhid serta Nafs yang melakukan kesaksian dan menerima hidayah
Keterangan:
•
Terma
nafs termasuk unsur utama dari manusia, bahkan ada yang mengatakan
sebagai intisari dari manusia.[54] Hampir semua ulama, kaum sufi dan filosof
muslim ikut berbicara tentangnya dan menganggapnya sebagai bagian yang lebih
dahulu diketahui oleh seorang manusia. Dimensi nafs atau jiwa dalam
Islam lebih tinggi dari sekedar dimensi fisik dan merupakan bagian dari metasfisika.
Ia merupakan penggerak dari seluruh aktifitas fisik manusia.[55] Meskipun saling membutuhkan antara jiwa dan
jasad tanpa harus dipisahkan, namun peran jiwa akan lebih banyak mempengaruhi
jasad.[56]
•
Dalam
QS 7: 172, diperoleh informasi bahwa nafs
lah yang melakukan kesaksian dengan Allah Swt di alam Rahim.
•
Berikutnya
Allah memilihkan dinul Islam sebagai agama yang sesuai fitrah kejadian manusia
(QS 30:30 dan 2: 132
•
Nafs sendiri yang menerima hidayah-Nya (QS 32:13) dalam kaitannya dengan Agama
Islam diistilahkan dengan Allah membuka dada manusia (QS 6: 1125 dan 39: 22)
Dengan kelengkapan di atas, manusia diharapkan dapat
mempertahankan fitrah kejadian manusia, yaitu fitrah bertauhid. Namun demikian dari
aspek internal, Allah telah memberikan peringatan mengenai adanya sejumlah
karakter “buruk” yang melekat pada manusia. Di sinilah perlunya PELINDUNG DIRI,
berupa SELF AWARENESS dan AWARENESS of GOD.
Berikut
sejumlah karakater manusia yang mesti diwaspadai sesuai dengan informasi dari al-Quranul
Kariim, sebagaimana ditampilkan dalam Gambar di bawah ini:
Gambar
3 Gambaran karakter manusia menurut Al-Qur‘an
Dengan demikian, semoga kita dapat memahami maksud ungkapan ketika kita dapat mengenali diri kita dalam bentuk kesadaran akan diri (self awareness) maka hal ini pula yang akan menuntun kita kepada Tuhan dalam bentuk taqwa sebenar-benarnya taqwa (Conscious of God).
Akihrul kalam, semoga juga kita dapat memahami dimaksud dari ayat yang
ditampilkan di awal tulisan ini bahwa sesungguhnya orang-orang
yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat
kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. (Q.S.
al-A’raf: 201).
Semoga bermanfaat!
Garut, 27 Desember 2021
[2] Ikrar,
2016, Konsep Khauf dalam AlQur’an, Tesis, Isntitut Perguruan Tinggi Ilmu
Alquran, Jakarta.
[3] Terjemahan dari link https://soflomuslims.com/taqwa/
[4] https://www.mabonline.net/sample-page/ramadan-reflections-2019/ramadan-reflections-2020/on-god-consciousness/
[5] Karya
Shaykh Ali Jai Al-Zakar, Lulu Press,
Inc, May 14, 2019
[6] Penelitian
dari University of Pennsylvania, School of Medicine.
[7] Surat Al-Ma'idah (5) ayat 57, Surat
Al-Ma'idah (5) ayat 112, dan Surat Al-Anfal (8) ayat 1
[8] Surat
Al-Ankabut (29) ayat 16
[9] Surat Al-Baqarah (2) ayat 21
[10] Surat Al-Baqarah (2) ayat 2, 3, dan
4
[11] Surat Al-Baqarah (2) ayat 177
[12] Surat Al-Baqarah (2) ayat 21
[13] Surat Al-Baqarah (2) ayat 183
[14] Surat
Al-An'am (6) ayat 153
[15] Surat Al-‘Araf (7) ayat 171
[16] Surat Al-Baqarah (2) ayat 179
[17] Surat Al-anfal (8): ayat 69; QS 59:
7
[18] Surat
At-thalaq (65) ayat 1
[19] Surat Al-Imran (3) ayat 130
[20] Surat Al-Baqarah (2) ayat 63, QS 5 :
108
[21] Surat Al-Mujadillah (58) ayat 9
[22] Surat Al-Maidah (5) ayat 57
[23] Surat Al-Maidah (5) ayat 8
[24] Surat AN-Nisa (4) ayat 1 ; QS
49 : 10, 12
[25] Syrat Al-Maidah (5) ayat 2
[26] Surat Al-Baqarah (2) ayat 266
[27] Syrat Al-Maidah (5) ayat 4, 88, 96
[28] Syrat Al-Maidah (5) ayat 11
[29] Surat Al-Hasyr (59) ayat 18
[30] Surat Al-Imran (3) ayat 102
[31] Surat Asy-Syu'ara' (26) Ayat 108,
126, 144, 163 dan 179
[32]
Surat Al-Imran (3) ayat 50
[33] Surat
Az-Zukhruf (43) ayat 63
[34] Surat Alimran (3) : 191
[35] Surat
Thaha (20): 50
[36]
QS 38:19
[37]
QS 24:41, 17:44
[38]
QS 21:79, 34:10
[39] QS 38:19
[40] QS 54: 53
[41] QS 6:38
[42] Surat Al-Maidah (5): 8 ; Surat Al-Mujadillah (59) ayat 18 ; Surat Al-Baqarah
(2): 231, 233, 282 ; Al-Imran (3): 120
[43] Surat Al-Hujurat (49) ayat 1; Surat
Al-Maidah (5): 7
[44] Surat An-Nisa (4) : 1
[45] Surat Al-Baqarah (2) : 196 ;
Surat Al-Maidah (5) : 2 dan 4 ; Al-Mujadilah (59): 7
[46] Surat Al-anfal (8): ayat 69 dan Surat
Al-Hujurat (49) ayat 12 ; Surat An-Nisa (4) ayat 129
[47] Surat Al-Baqarah (2) ayat 282
[48] Surat Ali-Imran (3) ayat 120
[49] Surat At-Talaq (65) ayat 2 dan 4
[50] Surat Al-Baqarah (2): 203, 223 ;
Surat Al-Mujadilah (58): 9
[51] Surat Al-Hujurat (49) ayat 10 dan
Surat Al-An'am (6) ayat 155
[52] Surat
Al-Baqarah (2) ayat 189; Surat Ali-Imran (3) ayat 130 dan 200; Surat Al-Ma'idah
(5) ayat 35 dan 100;
[53] Surat
Ali-Imran (3) ayat 123
[54]Harun Nasution, Falsafat dan Misticisme Dalam Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 13, dikutip dari
[55]Muhammad Ustman
Najjati, Ad-Dirasat al-Nafsaniyah ‘inda al-‘Ulama al-Muslimin, (Kairo,
Darul Asy-Syuruq, 1993), h. 118, dikutip dari
[56] Fazlur Rahman, Avecenna’s
Psychology, (London , Oxford University, 1952), h. 199-200. dikutip dari