Al-Quran, Membawa Manusia dari Kegelapan pada Cahaya
{QS Ibrahim (14): 1}
Ayat ini sangat
jelas memahamkan para pembacanya, bahwa Al-qur’an, wahyu Ilahi, diturunkan
untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan (الظُّلُمَاتِ) kepada cahaya terang (النُّورِ). Dalam ayat ini obyek yang dituju adalah
manusia (النَّاسَ),
bukan merupakan kekhususan bagi kaum yang beriman atau kaum muslimin.
Dari ayat ini
pula, kita dapat melakukan eksplorasi mengenai makna kegelapan – azhzhulumaati
(darkness, dalam bahasa Inggris). Ini
bukanlah hal yang remeh temeh, namun hal besar dan penting. Sekiranya hanya
sedikit di era quran ini diturunkan, tidaklah akan ada narasi besar bahwa
fungsi quran yang dijalannya adalah jalan (صِرَاطِ) Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha
Terpuji, yakni yang kita dapatkan istilah lain dari jalan Tuhan ini sebagai
Jalan Lurus (ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيم). Dengan demikian, mudah bagi kita
memahami bahwa manusia pada dasarnya berada dalam kegelapan, sehingga al-qur’an
turun untuk membawa manusia dari kegelapan menuju cahaya terang.
Arti dasar dari
kata gelap adalah ketiadaan cahaya. Sementara mengenai kegelapan (darkness),
mempunyai beberapa arti, seperti yang penulis temukan dalam Oxford Dictionary,
yaitu: ketiadaan cahaya sebagian atau total dan juga berarti kejahatan
(wickedness or evil). Kegelapan juga
secara pengertian emosional dan simbolis kita memahaminya sebagai simbol
misteri dan emosi terkait kesedihan dan ketakutan. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, secara nomina (kata benda), selain menunjukkan tempat atau yang
lainnya yang gelap, kegelapan juga berarti kericuhan dan kesulitan dalam
mencari jalan keluar. Selanjutnya dalam Corpus Quran, Azhzhulumaati dijelaskan sebagai kata yang mempunyai akar kata dari triliterasi: ẓā lām mīm (ظ ل م) yang terjadi 315 kali dalam quran, dalam 12 variasi bentuk, dan bermakna kegelapan. Bentuk lain mempunyai makna berbuat salah (zhalamu) atau berbuat tidak adil (azhlamu).
Penggamabaran
kegelapan (الظُّلُمَاتِ) dalam Al-quran, kita dapat temui dalam ayat di bawah ini:
“Atau seperti
gelap gulita (الظُّلُمَاتِ) di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak
(pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia
mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang
tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya
sedikitpun.“ (QS 24:40)
Dalam ayat ini kita
diajak untuk membayangkan kegelapan yang terjadi di
lautan yang dalam yang di atasnya diliputi ombak dan awan, gelap gulita yang
bertindih-tindih sehingga ketika ia mengeluarkan tangannya, tak seorang pun
dapat melihatnya. Dalam
kondisi seperti ini berlaku pengertian gramatikal ketiadaan cahaya dan
pengertian secara emocional mengenai rasa sedih dan takut.
Menarik apa yang
disampaikan dalam kajian mengenai QS 14:1 ini dalam youtube Qur’an Studi dengan
Tajuk Why was the Quran revealed? | A study of 14:1 | Quran Study (2021)
bagaimana memahami kegelapan dengan menjelaskan mengenai gejala dari kegelapan
itu sendiri, meliputi: tidak dapat melihat kemana arah yang akan dituju,
sehingga tersesat; sepenuhnya terbuka, ketiadaan pertolongan, dan masuk pada
kondisi yang rentan; semua tindakan menjadi tidak terkendali; berada di bawah
tekanan yang mengharuskan seseorang untuk terus bergerak, berenang dan survive;
seseorang merasa terjebak, dan putus asa; bukan hanya tindakan namun fikiran
kita menjadi membeku; perasaan dan kondisi kejiwaan dikelilingi oleh hal-hal
negatif, ketidakpastian dan ketidakpercayaan. Inilah gejala ketika seseorang berada
dalam kondisi kegelapan.
Apakah kita masih
berada dalam gejala-gejala di atas, jika iya, maka kondisi kegelapan bisa jadi
sedang menyelimuti kita. Pada kondisi inilah quran diturunkan untuk membawa
kita menuju cahaya. Pertanyaannya apakah cahaya (An-Nur) yang dimaksud?
Jawabannya, jika merujuk kepada gejala kegelapan di atas adalah semua kondisi
yang menjadi lawan dari gejal-gejala di atas, seperti: kita dapat melihat
dengan baik kemana arah pergi yang akan dituju, sehingga kita senantiasa ada dalam
arah yang dikehendaki; sepenuhnya terlindungi, hadir banyak alternatif
pertolongan, sehingga berada dalam kondisi yang aman dan stabil; semua tindakan
kita terkendali; terbebas dari tekanan yang mengharuskan kita untuk terus
bergerak membebaskan diri; seseorang merasa terbebas dari jerat atau jebakan,
dan senantiasa optimis; fikiran dan tindakan selalu sinkron dan cair dalam
menghadapi persoalan apapun; perasaan dan kondisi kejiwaan yang dikelilingi
oleh hal-hal postif, pasti dan saling percaya.
Kehidupan selalu
beriringan dengan sejumlah permasalahan, tantangan, ancaman, kesempatan dan
pencapaian. Alangkah indahnya ketika semua aspek yang menyertai dalam kehidupan
kita, kita hadapi senantiasa berada dalam terangnya cahaya sebagaimana gambaran
dari cahaya di atas.
Permasalahan
selanjutnya dari kondisi kegelapan atau (azhzhulumati) di atas adalah sebagian
orang tidak mengenali bahwa ia sedang berada dalam (gejala) kegelapan bahkan
untuk golongan ini justru ia mengenalinya sedang berada dalam cahaya terang dan
sebagian orang bisa jadi mengenalinya dan mencoba bersikap berkawan dengan
kegelapan, tak ada masalah dengan kegelapan, baik-baik saja.
Layaknya orang
yang merasa baik-baik saja, sehat, padahal ia sedang mengalami gejala sebuah
penyakit, adalah tepat untuk pemisalan dari golongan pertama ini. Ia baru
menyadarinya ketika pemeriksaan oleh seorang dokter, misalnya, menguatkan bahwa
ia sedang bermasalah dengan badannya.
Pada sebagian kaum
muslimin, kita sering menjumpai bahwa mereka menyadari adanya sesuatu yang berhubungan
dengan kegelapan, misal kesulitan mencari jalan keluar, seperti keluar dari
kemiskinan, namun mereka tetap bersahabat dengan kegelapan dan mempercayai
bahwa ada kehidupan akhirat (baca: surga) yang menantinya, kelak. Padahal, qur’an
dengan fungsinya membawa manusia dari kegelapan menuju cahaya berlaku di Dunia ini,
bukan untuk kehidupan kelak, akhirat.
Bagaimana alquran
dapat mengeluarkan manusia dari berbagai (gejala) kegelapan menuju cahaya?
Jawabanya masih terdapat dalam ayat yang sedang dibahas ini, (yaitu) menuju
jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. Inilah jalan Tuhan, jalan
Allah (fii sabilillah), yaitu shirathal mustaqiim, yang dalam ayat lain
ditegaskan sebagai diinan qiyaman (QS 6: 161), yaitu agama yang lurus.
Dalam alquran, beberapa
ayat dapat dipelajari mengenai shirathal mustaqiim, Jalan yang lurus.
Dalam QS Alfatihah (1): 7, misalnya, kita menemukan penjelasan jalan yang lurus
sebagai jalannya orang-orang yang telah mendapatkan kenikmatan dan bukan jalan orang-orang
yang dimurkai-Nya dan/atau jalan kesesatan. Selanjutnya dalam QS 4: 69, kita
mendapatkan petunjuk bahwa mereka yang mentaati Allah dan Rasul(Nya),
merekalah orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu:
Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang
saleh.
Jalan yang lurus
juga merupakan bentuk ketaatan kita dalam menjalankan setiap perintah Tuhan
yang telah difirmankan-Nya dalam kitab-Nya. Dalam QS 6: 151-153 memahamkan kita
bahwa serangkaian ketetapan Tuhan, mulai dari: Jangan mempersekutukan sesuatu
dengan Dia; berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa; jangan membunuh
anak-anak karena takut kemiskinan; jangan mendekati perbuatan-perbuatan yang
keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi; jangan membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar, jangan mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
bermanfaat; hingga sampai ia dewasa, menyempurnakan takaran dan timbangan
dengan adil; apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun
ia adalah kerabat(mu); dan penuhilah janji Allah. Selanjutnya Allah menegaskan dalam QS: 153
Allah Swt menegaskan:
“Dan bahwa
(yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah
agar kamu bertakwa.”
Inilah, mengapa qur’an
diturunkan sebagaimana fungsi yang sama ketika Taurat, Zabur dan Injil diturunkan,
membawa manusia dari kegelapan pada cahaya.
Dengan demikian, sudah
sewajarnya bagi yang mengimani qur’an sebagai Firman Ilahi, qur’an sebagai
kebenaran yang mutlak, petunjuk dan cahaya yang menerangi dari kegelapan untuk
lebih dekat, akrab, tadabbur dengan petunjuk-Nya.
Semoga
bermanfaat.