Metode Pengulangan, Sab'ul Matsani dan Fatihatul dan Ummul Qur'an

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa (ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka ketika mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan Kitab itu Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa dibiarkan sesat oleh Allah, maka tidak seorang pun yang dapat memberi petunjuk.“ 
(QS.39: 23)

Salah satu ketentuan Allah dalam menurunkan Al-Qur’an sebagai the best hadits, yaitu perkataan atau pelajaran yang terbaik yang disebutkan dalam ayat di atas adalah dengan menggunakan metode pengulangan, yaitu dengan menurunkan ayat yang serupa.

Allah kembali mengulang metode ini dalam ayat serupa, dalam redaksi yang berbeda, seperti di ayat di bawah ini.
“Dan demikianlah Kami menurunkan Al-Qur’an dalam bahasa Arab, dan Kami telah menjelaskan berulang-ulang di dalamnya sebagian dari ancaman, agar mereka bertaqwa, atau agar (Al-Qur’an) itu memberi pengajaran bagi mereka.” (QS. 20: 113)

Dari ke-2 ayat di atas, kita temukan konsistensi tujuan Allah menyampaikan tanda-tanda kekuasan-Nya secara berulang, dengan redaksi yang berbeda, yaitu:

  1. Sebagai ancaman, dengan respon hati manusia gemetar, karena takut. 
  2. Agar kita bertaqwa, respon hati manusia tenang, dan selalu mengingat Allah. 
  3. Supaya kita dapat mengambil pelajaran, respon manusia adalah menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk. 

Untuk lebih jelasnya, pembaca dapat melihat gambar yang menyertai artikel ini.


Pengulangan ayat yang telah mashur di kalangan umat Islam, adalah ayat Allah yang terjemahannya sebagai berikut: “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” kalimat ini diulang-ulang hingga 31 kali dalam QS. 55 (Ar-Rahman).

Nah, penulis pun menemukan pengulangan kalimat, dengan frase di ujung yang berbeda, yaitu pada kalimat:
“wa laa kinna aktsarannasi….” yang  artinya: “dan tetapi kebanyakan dari Manusia…”
Setidaknya penulis menemukan ada 18 ayat dalam Al-Qur’an yang menggunakan frase di atas, yang diikuti oleh 3 frase yang berbeda, yaitu:

  • Laa Yu'minuun (3 kali)
  • Laa ya'lamuun (12 kali)
  • Laa yasykuruun (3 kali)

Dengan demikian terjemah secara keseluruhan adalah sebagai berikut:

  1. Kebanyakan manusia tidak beriman (dapat dilihat seperti pada QS (11, 17, 13:1, 40:59)
  2. Kebanyakan manusia tidak mengetahui (idem, pada QS 34:28, 40:57, 59)
  3. Kebanyakan manusia tidak mensyukuri  (12: 38, 2:243, 40:61)

Ke-3 fakta atau indikator yang ditunjukkan Qur’an inilah, bagi penulis menjadi bahan renungan, diskusi dan kajian dalam kaitanya Al-Qur’an sebagai kurikulum, termasuk metode Allah dalam mengajarkan ayat-ayat-Nya kepada manusia. Metode pengulangan ini, akan menjadi metode dalam menjelaskan surat Al-Fatihah sebagai topik buku ini.

Penulisan buku ini pun, diawali perjumpaan penulis dengan ayat Al-Qur’an yang bertemakan pengulangan, namun berbeda dengan pengulangan yang telah disampaikan di atas. Ayat itu adalah sebagai berikut:  Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang (sab’an minal matsaanii) dan Al Quran yang agung. (QS 15: 87)
“Tujuh ayat yang di baca berulang” menurut para ‘Alim ulama, merujuk kepada surat Al-Fatihah, dan dihubungkan dengan dibaca secara berulang pada setiap rakaat dalam ibadah shalat. Tujuh ayat yang di baca berulang (sab’ul masani), ini menjadi salah satu nama yang diberikan oleh Nabi Muhammad terhadap Al-Fatihah (Katsir, 2000).

Dari perjumpaan dengan ayat ini pula, akhirnya penulis berjumpa dengan satu artikel dan menemukan istilah Al-Fatihah dengan sebutan The Greatest Chapter, Bab/bagian yang hebat/besar. Dalam tulisan berbahasa Inggris tersebut, Abu Amina Elias, sang penulis mengutip Hadits Shahih Bukhari No 4720 .
The Greatest Chapter ini adalah surat Al-Fatihah, yang dari aspek bahasa mempunyai pengertian sebagai “Awal Qur’an” (Shihab, Tafsir Al-Misbah, 2005), bisa diartikan sebagai Bab Pembuka Qur’an. Pertanyaan penulis berikutnya adalah, mengapa Bab Pembuka ini bukan berisikan 5 ayat pertama yang turun sebagai wahyu Allah Swt kepada nabiyullah Muhammad Saw  seperti yang kita sudah ketahui bersama, yaitu 5 ayat pertama dalam Surat ke-96 (al-Alaq).  Ternyata, pertanyaan penulis tersebut adalah juga pertanyaan pertama dari serangkaian pertanyaan yang diajukan oleh Al-Mukaram Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, yang selanjutnya Quraish Shihab menguraikan bahwa penyusunan seperti ini memuat maksud-maksud tertentu, sebagaimana satu surat, beliau sampaikan, mempunyai tujuan tertentu. Dan ini pula, yang sampai saat ini menjadi kajian dari para ulama tafsir.
“Kini jika Anda bertanya mengapa surah ini diletakkan pada awal al-Qur’an, jawabannya antara lain adalah apa yang diuraikan oleh Syekh Muhammad Abduh menyangkut kandungannya yang bersifat global yang dirinci oleh ayat-ayat lain sehingga ia bagaikan mukadimah atau pengantar bagi kandungan surah-surah al-Qur’an.” (Shihab, Tafsir Al-Misbah, 2005)

Seperti kita fahami bersama, bahwa mushof Al-Qur’an memang tidak disusun berdasarkan kepada urutan turunnya ayat-ayat Al-Qur’an. Namun, justru di sinilah, penulis berkeinginan untuk mendalami keistimewaan dari “tujuh ayat (berulang)” ini.
Ketika Allah SWT menamakan Qur’an sebagai buku (Kitab, dalam bahasa Arab), seperti dalam QS Al-Baqarah (2) ayat 2, ditegaskan:“Kitab (Al-Kitab, Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” maka, layaknya sebuah buku, pembukaaan atau pendahuluan biasanya berisikan overview/summary/ringkasan yang mengantarkan kepada isi buku itu sendiri. Dengan demikian Surat Al-Fatihah seharusnya berlaku hal yang sama untuk keseluruhan isi atau pesan Al-Qur’an.

Dalam penelusuran berikutnya, penulis menemukan banyak istilah, nama atau julukan lain bagi Surat Al-Fatihah dengan maknanya masing-masing. Nama-nama untuk Al-Qur’an di banyak Kitab Tafsir Surat Al-Fatihah menjadi bahasan yang tidak terlewatkan seperti penulis temukan dalam Tafsir Ibnu Katsir di atas. Penulis juga berjumpa dengan berbagai kajian Surat Al-Fatihah mulai dari hadits Rasulullah, artikel, jurnal dan buku (termasuk Kitab Tafsir) dari berbagai aspek termasuk bahasan Ummul Kitab dan Ummul Qur’an yang ditujukan bagi Surat Al-Fatihah.

Al-Fatihah disebut sebagai ummul kitab/Qur’an, ini menunjukkan bahwa kandungan Surat Al-Fatihah berisikan pokok-pokok dari isi/pesan Al-Qur’an itu sendiri.
Berikut pandangan Al Hasan Al Basri dalam Tafsir Hidayatul Insan mengenai Ummul Qur’an:
"Sesungguhnya Allah menyimpan ilmu-ilmu yang ada dalam kitab-kitab terdahulu di dalam Al Qur'an, kemudian Dia menyimpan ilmu-ilmu yang ada dalam Al Qur'an di dalam surat Al Mufashshal (surat-surat yang agak pendek), dan Dia menyimpan ilmu-ilmu yang ada dalam surat Al Mufashshal di dalam surat Al Fatihah. Oleh karena itu, barang siapa yang mengetahui tafsirnya, maka ia seperti mengetahui tafsir semua kitab-kitab yang diturunkan." (Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Syu'abul Iman). (Musa, 2010)

Selanjutnya disebutkan: Mencakupnya isi surat Al Fatihah terhadap semua ilmu yang ada di dalam Al Qur'an juga ditunjukkan oleh Az Zamakhsyari, yaitu karena di dalam Al Fatihah terdapat pujian bagi Allah yang sesuai, terdapat peribadatan kepada-Nya, terdapat perintah dan larangan serta terdapat janji dan ancaman, sedangkan ayat-ayat Al Qur'an tidak lepas dari semua ini. Dengan demikian, semua isi Al Qur'an merupakan penjelasan. (Musa, 2010)
Mengenai pokok-pokok pesan dalam Al-Qur’an ini, terdapat berbagai ragam pengelompokkan dari para ‘alim ulama. Dalam risalah ini penulis mencoba merangkumnya termasuk dari tiga sumber utama yaitu Tafsir Al Misbah (Shihab, Tafsir Al-Misbah, 2005), Tafsir Al- Azhar (Hamka, 2008) dan Tafsir Hidayatul Ihsan (Musa, 2010). Selengkapnya adalah sebagai berikut:

  1. Tauhid, 
  2. Janji/kabar gembira dan ancaman, 
  3. Ibadah yang menghidupkan Tauhid
  4. Penjelasan tentang jalan kebahagiaan di dunia dan di akhirat dan cara mencapainya.
  5. Sejarah (Pemberitaan atau kisah generasi terdahulu).
  6. Ilmu Pengetahuan  

Dengan demikian, ke-6 point pesan utama Al-Qur’an sudah semestinya terdapat dalam Surat Al-Fatihah sebagai Bab Pembuka Al-Qur’an.

Mengenai pentingnya bab pembuka(an), penulis mengajak pembaca untuk berwisata wawasan sejenak, dengan satu dokumen, yaitu undang-undang dasar. Negara Indonesia memiliki Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Kita juga memahami keutamaan Bab Pembukaan pada UUD 1945 ini. Seperti halnya Surat Al-Fatihah dalam Al-Qur’an, Pembukaan UUD 1945 disebutkan sebagai jiwa dari UUD 1945 yang diuraikan dalam Batang Tubuh UUD 1945. Dalam Pembukaan UUD 1945, kita menemukan Dasar Negara sebagai dasar Ideologi, yaitu 5 butir pernyataan, yang kita kenal sebagai Pancasila. Dalam pembukaan UUD 1945 juga kita bertemu dengan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dinyatakan dalam 4 butir pernyataan tujuan, mulai dari Melindungi segenap bangsa Indonesia sampai kepada butir Ikut melaksanakan ketertiban dunia.  Dalam analisis lebih lanjut dari Pembukaan UUD 1945, kita juga mengenal 4 pokok pikiran, yang telah disepakati dan disosialisasikan. Pentingnya Pembukaan UUD 1945, maka dalam setiap upacara bendera, naskah ini dibacakan untuk mengingat pokok-pokok pikran penting sebagaimana dijelaskan di atas. Empat pokok pikiran ini, selanjutnya diuraikan dalam batang tubuh yang saat ini, setelah amandemen terdiri 16 Bab dan 37 Pasal.

Begitu pentingnya sebuah Bab Pembuka(an), sekali lagi, hal ini yang mendorong penulis untuk mempelajari lanjut kepada upaya pencarian model sistem kehidupan seorang muslim dari Surat Al-Fatihah, dengan pertimbangan yang sudah penulis bahas di atas. Yaitu bahwa Al-Fatihah mengandung pokok-pokok ajaran Al-Qur’an, yang uraiannya disampaikan dalam 113 surat (Bab/chapter) lainnya.

Dalam Bab ke-2, buku ini, secara singkat penulis sudah mengelompokkan julukan atau nama/istilah lain yang masing-masing nama menjelaskan keutamaan dan keistimewaan dari Surat Al-Fatihah ini.
Dari banyaknya istilah terkait dengan keistimewaan pada Surat-Al-Fatihah, hal ini menambah keyakinan penulis bahwa Al-Fatihah sebagai ummul Qur’an dapat menjadi model dalam posisi Al-Qur’an sebagai pedoman hidup muslim.
Penulis juga mempunyai keyakinan, bahwa surat Al-Fatihah adalah surat yang paling banyak dihafal oleh hampir seluruh muslim di dunia, entah untuk kepentingan ritual shalat ataupun dalam hal berdo’a. Hal ini menjadi motivasi tersendiri untuk berbagi dengan dengan saudara muslim lainnya dengan menyusun risalah/tulisan Surat Al-Fatihah sebagai model sistem Kehidupan Muslim.

Di lain pihak, penelusuran penulis mengenai sejarah Islam berujung kepada pertanyaan mengapa Umat Islam saat ini jauh tertinggal dari saudara kita di belahan bumi lainya yang nota bene Islam bukan sebagai agama mayoritas bagi mereka, sebut saja benua Eropa, Amerika dan Asia Timur.
Padahal, lebih dari 7 abad Islam berjaya memimpin dunia, dimulai abad 6 M sampai dengan 12 M. Dimulai dari Kepemimpinan Muhammad Saw di Madinah (622-632M) sampai dengan Daulah Abbasiyah (750 -1258M) yang dilanjutkan dengan Kekhalifahan Turki Usmani yang jatuh pada tahun 1342M. Dari Andalus sampai Indus (Tohir, 1981). Selama itu pula, Islam melahirkan banyak ilmuwan dengan karya mereka yang luar bisa bagi kemanusiaan, mewariskan buku dan risalah sains, filsafat dan matematika (Wahyu, 2010). Pada masa tersebut pula peradaban ada pada kendali umat Islam. Akankah ini  hanya sekedar kenangan-romantisme sejarah? Apa yang salah dengan umat Islam?

Banyak teori atau setidaknya opini mengenai faktor penyebab dari kemunduran umat Islam.
Salah satunya bisa pembaca temukan dalam buku yang menurut penulis masih layak dibaca dan dijadikan rujukan, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang berjudul:  “Kenapa Umat Islam Tertinggal” (1940) karya Syaikh Syakib Arslan. Dijelaskan dalam buku ini faktor-faktor penyebab dari ketertinggalan umat Islam, namun bagi penulis bagian yang lebih menarik dan aktual untuk ditindaklanjuti, sehingga dari pembelajaran menjadi sebuah transformasi, adalah mengenai solusi kebangkitan, yaitu kembali kepada pengamalan Kitabullah, Al-Qur’an, Qur’an menjadi inspirasi, termasuk implementasi jihad yang dalam bahasan buku ini akan dijelaskan sebagai bagian dari fungsi khalifatul fil-Ardl.
Kalau merujuk kepada sumber utama, isi/pesan Qur’an jelas tidak ada yang berbeda dari semenjak pertama penyusunan mushaf Qur’an ini. Namun dari aspek pemahaman, penulis berpendapat bahwa inilah yang menjadi penyebab mengapa pengamalan Kitabullah di masa lalu dan sekarang menunjukkan hal yang berbeda.

Salah satu yang sempat penulis uraikan dalam sebuah artikel di blog penulis, dan yang menjadi inpirasi adalah tesis dari Ghulam Ahmad Parwez yang berjudul Islam: A Challenge to Religion (2012). Bagaimana arti atau makna Islam sebagai Ad-din telah tereduksi menjadi agama yang secara etimologi dan semantik berbeda. Insyaa Allah akan disampaikan dalam artikel berikutnya...

Popular posts from this blog

Risalah Kebohongan: BAB II — KECELAKAAN BESAR BAGI PARA PEMBOHONG

Attitude, Aptitude dan Altitude

Al Fatihah dan AlFath: Membuka Kemenangan