Rumput tetangga itu…
Moral of the story is…,
the lessons to learn are…, pesan moral dari cerita itu adalah bla bla bla…
Klise, emang. Ujungnya adalah nasihat, bukan?
Namun demikian. Apalah arti anugerah-Nya mengenai akal dan
hati yang kita terima kalau untuk setiap episode kehidupan kita tidak dapat
menjadi bahan pelajaran: berfikir, perenungan dan seterusnya. Bukankan akal dan
hati yang membedakan manusia dengan binatang? Lho kok pakai hati? Bukannya cukup
akal saja? Sebagaimana Al-Ghazali menyebut manusia sebagai hayawanu nathiq, binatang yang berfikir? Atau Descartes yang
berujar, aku berpikir maka aku
ada, atau Aristoteles
yang memandang manusia sebagai makhluk intelek dengan mengedepakan logos atau
logikanya.
Ahh, biarpun.
Semoga ini juga adalah pesan moral yang saya dapat dari
Al-Qur’an, ketika afidah dan qalbu saling bergantian diterjemahkan ke
dalam kata yang sama dengan kapasitasnya berfikir. Kenapa juga Al-Qur’an tidak
langsung menggunakan kata akal ketika dua modal dasar: pendengaran (sama’un),
penglihatan (basharan) selalu bergandengan dengan pemikiran (kadang diwakili
kata afidah kadang dengan qalbu). Toch, orang waras akan sama-sama
faham bahwa maksud qalbu yang sering diterjemahkan hati bukanlah hati yang kita
kenal sebagai liver ata hepar yang berfungsi untuk mengemulsikan
lemak. Qalbu dan Af’idah yang digunakan dalam terminologi Al-Qur’an adalah mempunyai
kapasitas untuk berfikir laksana akal, mempertimbangkan, dan merenungkan.
Ketika manusia dibandingkan dengan hewan seperti yang
diujarkan Al-Ghazali, seorang ahli sufi yang dulu-nya adalah filsosof, bukanlah
yang pertama. Toch, Al-Qur’an telah lebih dulu membandingkan manusia dengan hewan.
“Kal an’am, bal hum adhol”, begitu
firman-Nya, bahkan lebih sesat daripada binatang, ketika hati, telinga dan mata
manusia tidak digunakan untuk merenungkan/memikirkan/mempertimbangkan,
mendengar dan melihat tanda-tanda kekuasaan-Nya. Inspirasi dari Qur’an ini juga,
may be, ketika Iwan Fals
mendendangkan satu lagunya dengan potongan lirik: “Ada manusia seperti binatang, bahkan lebih keji dari
binatang”.
Kembali ke pesan moral.
Satu tontonan, short film
(+20 menit), beridentitas Oscar Winning,
menyajikan cerita yang mengagetkan. Mengagetkan untuk ending yang berpesan moral lama, namun dengan kemasan baru. Film
pendek yang bertajuk “neighbors window”
ini menyuguhkan cerita tentang kecemburuan pasangan “tua” dengan tiga anak, suatu
waktu, melalui jendela apartemennya, menyaksikan adegan making love tetangganya yang kebetulan jendelanya tidak tertutup
gorden. Adegan panas, full desire,
benar mengusik kecemburuan di pasangan “tua” ini, khususnya bagi sang istri
yang merasa bosan dengan keseharian mengurus anak juga dengan kebiasaan
suaminya. Dari tontonan pertama yang disaksikan bersama suaminya, akhirnya
membuat penasaran dan menjadi momen yang ditunggu sang istri, bahkan terkesan
seperti kecanduan untuk terus menunggu lalu mengintip jendela tetangganya dari jendela
miliknya.
Sampai satu ketika, “pemeran” laki-laki adegan dewasa
disebrang sana, ketahuan menjadi botak, beberapa hari kemudian kedapatan terbaring
sakit, dan pada akhirnya, masih melalui jendela tetangga, pada hari-hari
berikutnya, sang istri “tua” ini menyaksikan laki-laki dari pasangan muda di
sana dibawa oleh petugas medis.
Sang istri “malang” ini penasaran, kemudian menyusul turun,
menyaksikan tetangganya dibawa masuk ke ambulance, sementara sang istri dari
pasangan muda ini hanya bisa menangis mengiringi kepergian suami bersama
petugas medis.
Mencoba berempati, Sang istri tua menghampiri istri pasangan
muda tersebut, terjadilah dialog dalam kesedihan. Tetangganya itu kemudia
menebak sosok sang istri “tua” bahwa ia adalah tetangganya yang besebrangan
jendela. Mengalirlah cerita dari sang istri yang lagi bersedih ditinggal
suaminya itu, menuturkan betapa dia dan suaminya begitu cemburu dengan “kebahagiaan”
pasangan tua yang sering dilihat bersama suaminya, yang kiini sudah pergi, dari
jendela appartemen-nya. Menyaksikan “kebahagiaan” pasangan “tua” bersama ke-3
anak-anaknya.
Berakhirlah film, dan saya pun melakukan aksi scroll down
untuk melihat komentar para pemerhati
film sebelumnya, maka: Moral of
the story is…, the lessons to learn are…, pesan moral dari cerita itu
adalah bla bla bla…
Ya, kiranya pepatah: rumput tetangga selalu nampak hijau,
sudah sering kita dengar.
Namun, apakah pepatah iitu sudah kita renungkan dalam setiap
episode kehidupan kita? Sehingga kita senantiasa bersyukur atas setiap episode
itu berserta pencapaiannya? Atau bisa jadi kita selalu kecewa, ‘ngedumel”, atau
senantiasa berkeluh kesah?
Benarlah Firman Tuhan, dan pasti benar adanya, bahwa ketika
kita mempunyai pendengaran, penglihatan dan pertimbangan, namun tidak pernah
kita gunakan untuk mendengar, membaca dan merenungkan tanda-tanda kekuasaan-Nya,
termasuk atas segala anugerah-Nya kita tak mensyukurinya, layaklah kita
disebut-Nya: “kal an’am, bal hum adhol”.