Siapa Saya


Menulis adalah Puncak Skill Komunikasi


Kaget, itu kesan pertama yang saya peroleh ketika membaca ulang tulisan-tulisan sendiri dalam fasilitas note di face book. Ada fikir tidak percaya, kesan berikutnya, dengan apa yang sudah saya tulis mengenai berbagai hal di masa lalu, tentang pengalaman, pemikian dan ulasan berbagai peristiwa yang terjadi.
Selanjutnya, saya bisa menikmati berbagai rasa ketika membaca ulang tulisan-tulisan saya terdahulu. Ingatan kembali muncul, layaknya memutar video mengenai episode kehidupan yang pernah saya alami, tentang rentetan peristiwa di masa lalu, tentang interaksi bersama sejumlah kawan, tentang sikap dan opini atas apa yang terjadi. dan tentunya tentang response sejumlah kawan atas tulisan saya.

Menulis, dalam konteks komunikasi, adalah senilai dengan kegiatan berbicara, membaca dan mendengarkan. Ke-empat kegiatan utama komunikasi tersebut memang mempunyai keunikan masing-masing. Dalam berbicara, ekspresi kita terkadang dibatasi oleh dan dengan siapa kita berbicara. Kita bisa lancar bahkan dominan berbicara ketika kita berbicara dengan mereka yang secara usia di bawah kita. Sebaliknya, dalam hal mendengarkan, justru kita menjadi malas bahkan enggan untuk mendengarkan anak-anak kita, misalnya, menyampaikan sesuatu. Sebaliknya kita bisa menahan kesabaran, cenderung terpaksa untuk mendengarkan ketika yang berbicara adalah orang tua kita atau orang-orang yang berada di atas kita dari aspek usia, pengalaman, prestasi, atau dari hal kekuasaan yang mereka punya. Dalam hal membaca, ada sejumlah kebebasan kita dalam memilih mana yang perlu dan tidak untuk membacanya. Kita juga dengan bebasnya meneruskan bacaan (tulisan) sampai akhir atau berhenti dan meninggalkannya, semau kita.

Dalam kegiatan menulis, dari aspek komunikasi mempunyai keunikan tersendiri. Terkadang saya sendiri menulis tanpa memperhitungkan siapa yang akan membaca, layaknya monolog, cukup mengekspresikan apa yang saya rasa, fikir dan renungkan. Terciptanya tulisan, dalam bentuk catatan saja, sudah cukup. Namun demikian dalam prosesnya menulis justru adalah tidak semudah yang kita bayangkan. Menuliskan apa yang menjadi pengalaman, retelling, sekilas adalah hal mudah. Namun, pengalaman saya justru terkadang membutuhkan waktu yang lebih lama ketika saya berbicara, mendengarkan atau membaca. Lancar tidaknya kita menuangkan ekspresi dalam sebuah tulisan justru dipengaruhi oleh ke-3 kegiatan komunikasi lainnya. Pembicaraan kita, pengalaman mendengarkan dan membaca adalah modal dalam menyusun sebuah tulisan. Mustahil kiranya kita dapat menulis tanpa sejumlah pengalaman kita sebagai hasil kita bercakap-cakap, mendengarkan dan membaca. Untuk itu, bisa jadi kemampuan menulis adalah puncak skill dari kegiatan komunikasi. Namun, uniknya kita tak pernah tahu sejauh mana efektivitas kita dalam menulis ketika komunikant adalah di luar kita sendiri.

Salam takjub, bagi para penulis dengan fans setia yang selalu menunggu tulisan berikutnya. Itulah kiranya kesempurnaan menulis sebagai puncak skill komunikasi dengan efektivitas yang ditunjukkan dengan feed back dari para pembacanya.

Untuk kenalan lebih banyak dengan si akuh, pengunjung dapat berkenalan di:

Kompasiana

IG

Facebook

Vlog Viva



Popular posts from this blog

Attitude, Aptitude dan Altitude

Risalah Kebohongan: BAB II — KECELAKAAN BESAR BAGI PARA PEMBOHONG

Al Fatihah dan AlFath: Membuka Kemenangan