Family Business: Tantangan dan Harapan

Kamus Wikipedia memberikan pengertian family business (bisnis keluarga) sebagai sebuah perusahaan yang dimiliki (owned), dikontrol (controlled) dan dioperasikan (operated) oleh satu atau beberapa anggota keluarga. Di Indonesia perusahaan-perusahaan besar (konglomerasi) sebagian besar berasal dari perusahaan keluarga. Sebut saja Kelompok Usaha Bakrie, Grup Kalla, Nyonya Meneer, Sidomuncul, Sampoerna, Sinar Mas, Gudang garam, Grup Ciputra, Grup Lippo, Grup Djajanti, dan lain-lain.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh R. Beckhard dan W. Gibb Dyer menjelaskan bahwa di Amerika 90 % perusahaan dengan kategori cukup besar merupakan perusahaan keluarga atau perusahaan yang dikuasai oleh kelompok keluarga. Sementara itu menurut Naisbitt dan Aburdene, dari seluruh perusahaan keluarga, hanya 30 % dapat langgeng sampai generasi kedua. Rata-rata perusahaan keluarga hanya bertahan sebatas usia perintisnya. Sementara itu majalah Family Business telah melakukan survai dan mendapatkan data 250 perusahaan keluarga terbesar di dunia. Samsung dan LG Groups sebagai wakil Asia merupakan entitas bisnis keluarga yang menempati urutan ketiga dan kempat dalam kelompok tersebut.

Di Indonesia, seperti halnya hasil penelitian Beckhard, banyak perusahaan keluarga yang hilang peredarannya ketika ditangani oleh generasi kedua. Sentra batik di Laweyan Solo, sekarang tinggal kenangan yang hanya menyisakan satu dua pengusaha. PT Mantrust yang pernah gilang gemilang merajai agro bisnis sekarang tinggal namanya seiring dengan meninggalnya Teguh Sutantyo, sang pendiri. PT Pardedetex dengan gurita bisnisnya kini tinggal puing-puingnya setelah wafatnya Pardede.

Namun tidak sedikit Bisnis Keluarga juga yang berhasil lolos dari generasi kedua bahkan menunjukan kemajuan pada generasi ketiga. Trio Bakrie Bersaudara (Aburizal Bakrie, Nirwan D. Bakrie dan Indra U. Bakrie) dapat menjadi contoh dari suksesnya generasi kedua pebisnis Indonesia. Hal ini dapat menjadi prototipe sebuah bisnis keluarga berkat kekompakan, keseriusan, konsistensi, dan sentuhan pengetahuan dan teknologi yang diantaranya diraih di perguruan tinggi. Dari salah satu wawancara dalam buku Achmad Bakrie: Sebuah potret kerja keras, kejujuran dan keberhasilan, Aburizal Bakrie mengungkapkan bahwa filosofi, hanya ada satu matahari berlaku bagi keluarga Bakrie dengan dalam meneruskan usaha dari Pendiri. ”Nirwan dan Indra merelakan saya jadi ’matahari’”, demikian ungkapnya.
Bahkan prototipe ini saat ini sedang diwariskan kepada generasi ketiga dengan mulai banyak diberikannya porsi tanggung jawab perusahaan kepada Anindya N. Bakrie sebagai anak tertua Aburizal Bakrie.
Banyak contoh lain dari generasi kedua yang bisa dikatakan meraih kesuksesan bisnis. Seperti Sunjoto Tanudjaja untuk grup Great River, Anthony Salim yang dengan segala kelebihan dan kekurangannya mampu membawa Grup Salim sebagai korporat raksasa di Asia Tenggara, Henry Pribadi yang bergerak di lapangan industri, jasa, dan media, Sofjan Wanandi dari Grup Gemala, seperti halnya Grup Bakrie, sudah menyiapkan generasi ketiga melalui tiga anak lelakinya.
Sejumlah pebisnis besar lainnya juga sukses sebagai generasi kedua. Mereka di antaranya adalah Jusuf Kalla (Grup Haji Kalla dan Grup Bukaka), Aksa Mahmud (Grup Bosowa), Arifin Panigoro (Grup Medco), , Djan Faridz (Grup Pria Manaya), Muhammad Lutfi (Grup Mahaka), Moch S Hidayat, Ponco Sutowo, Siswono Yudo Husodo, dan Fahmi Idris.

Tantangan Bisnis Keluarga
Charles Saerang, penerus bisnis keluarga Nyonya Meneer, dalam suatu wawancara pernah berujar bahwa secara umum, bisnis keluarga yang langsung dikelola anggota keluarga sendiri tidak terlepas dari konflik keluarga, tidak terkecuali PT Nyonya Meneer. Itulah sebabnya, kegagalan atau kehancuran bisnis keluarga, bukan karena kalah bersaing atau kekurangan modal, tetapi karena perseteruan yang tak kunjung teratasi. Artinya, jika berhasil mengatasi konflik, selamatlah perusahaan. Sebaliknya, jika gagal menyelesaikan perseteruan, perusahaan akan tutup.

Harian Kompas, tiga tahun silam telah mengupas bisnis keluarga di Indonesia, mulai dari sejarah pendirian, gugatan dan tantangan bisnis keluarga. Gugatan yang dapat disampaikan kepada generasi kedua ini adalah bagaimana agar mereka memberi kontribusi jauh lebih besar bagi bangsa dan negara ini. Bahwa mereka sudah ikut membuka lapangan kerja yang amat luas, dan karena itu mengurangi angka pengangguran, memang benar. Bahwa mereka ikut memberi kontribusi pada pertumbuhan ekonomi Indonesia juga benar.
Namun, hal yang belum merata dilakukan oleh generasi kedua tersebut adalah bagaimana membuat para karyawannya lebih sejahtera dari sekarang, lebih mandiri, dan diberi ruang lebih lapang agar lebih bisa menggali potensi, supaya kelak dapat juga meraih kesuksesan besar di bidang ekonomi.
generasi kedua inipun semestinya memberi perhatian luar biasa kepada pengembangan sumber daya manusia. Perusahaan-perusahaan besar generasi kedua hendaknya tidak hanya pandai merekrut tenaga-tenaga profesional untuk menjadi eksekutif puncak, tetapi juga bagaimana mengader tenaga-tenaga kerja yang dimiliki untuk kelak menjadi tenaga kerja yang andal dan profesional.
Pertanyaannya, berapa banyak eksekutif profesional yang dihasilkan oleh korporat-korporat raksasa generasi kedua tersebut?

B. Susanto, dari harian Bisnis Indonesia menyebutkan dua titik kritis untuk bisnis keluarga. Menurut Susanto, perusahaan keluarga akan mengalami titik kritis yang bila tidak diatasi akan membawa kehancuran pada perusahaan bersangkutan. Ada dua titik kritis, yaitu, pertama, berhubungan dengan anggota keluarga. Permasalahan yang akan dihadapi adalah, adik-adik atau kakak pemilik masuk dalam bisnis. Kemudian ada anggota keluarga menikah. Atau generasi kedua mulai ikut mengelola perusahaan. Disinilah muncul multiple leadership, masing-masing anggota keluarga bertindak sebagai pemimpin yang harus ditaati.

Dalam kaitannya dengan tiitik kritis pertama, hubungan dengan anggota keluarga, Generasi pertama dalam kelompok Usaha Bakrie patut menjadi teladan untuk contoh sukses bisnis keluarga. Bagaimana tatanan nilai bisnis dapat disemangati oleh kebersamaan keluarga dengan nilai-nilai luhur yang dapat mengalahkan kepentingan kelompok kecil dalam hal ini keluarga. Dengan semangat (nilai) memberikan kontribusi kepada tanah air yang telah menganugerahinya sebuah kemerdekaan, kebebasan untuk bergerak dan berusaha, Alm. H. Achmad Bakrie telah menanamkan nilai-nilai patriotrisme di keluarganya dan hal ini yang menjadikan generasi kedua lebih mendahulukan kebersamaan dibandingkan kepentingan-kepentingan pribadi sebagai pewaris perusahaan (keluarga).

Kedua, berkaitan dengan masalah organisasi, manajemen dan SDM. Perusahaan keluarga harus menyiasati munculnya rentang kendali yang semakin luas, perangkapan jabatan secara berlebihan oleh anggota keluarga. Harus dibentuk sistem dan prosedur yang lugas dan konsisten yang berlaku untuk semua, tanpa ada perkecualian. Faktor perencanaan harus lebih mendapat perhatian, serta menyadari pentingnya data bagi pengambilan keputusan. Di sisi pengembangan SDM, perlu dipertihatikan sistem rekrutmen dan seleksi, pemanfaatan deskripsi jabatan dan spesifikasi jabatan. Yang juga tidak boleh terlewatkan adalah performance appraisal yang obyektif, untuk menghindarkan penilaian yang berdasarkan like and dislike.

Hal yang sungguh ironis untuk peringkat orang terkaya, Indonesia berhasil menempatkan wakilnya namun pebisnis keluarga (konlomerat kita) tidak ada satupun yang nonghol dalam 250 pebisnis keluarga terbesar di dunia.

Harapan terhadap Bisnis Keluarga
Sukses dalam menyiasati titik kritis tersebut bisa dikatakan akan membawa perusahaan keluarga lebih mudah dalam menghadapi persaingan dan lebih gampang untuk bersahabat dengan perkembangan teknologi dan informasi. Persoalannya, titik kritis ini jarang yang dilalui dengan sukses oleh perusahaan keluarga. Kegagalan utama lantaran pola pikir para pengelola (pemilik) perusahaan keluarga masih terpaku pada hal-hal yang sifatnya tradisional, statis, romantisme masa lalu dan orientasi pada jangka pendek.

Beberapa bisnis keluarga di Indonesia telah memasuki generasi ketiga. Artinya sampai generasi ketiga ini mereka telah berhasil dalam memelihara dan membangun bisnisnya. Sebut saja, Kelompok Usaha Bakrie, Gemala Group, Nyonya Meneer, dan masih banyak lagi.
Dari cara para usahawan generasi pertama itu mendidik anak-anaknya, terdapat dua hal yang impresif. Pertama, para usahawan generasi pertama menyekolahkan anak-anaknya hingga meraih master di sekolah-sekolah elite luar negeri.
Trihatma misalnya, untuk menyebut contoh, bersekolah di Jerman. Sunjoto Tanudjaja di AS, anak-anak Sofjan Wanandi juga meraih master di AS, bahkan di sekolah-sekolah elite seperti MIT dan Berkeley. Hal ini juga dilakukan oleh Kelompok Usha Bakrie dengan menyekolahkan terutama generasi keduanya ke luar negeri.

Hal impresif kedua adalah mereka menyiapkan anak- anaknya lewat "latihan" lapangan yang amat keras. Nirwan D. Bakrie misalnya, semenjak kecil lepas dari bakat dagangnya, telah memulai ’bisnis’nya dengan menjual layang-layang dan gelasan. Demikian halnya dengan Ical, sapaan akrab Aburizal Bakrie yang telah memulai bisnisnya semenjak dia duduk di banku kuliah. Hal ini berlanjut kepada generasi ketiga, Anindya N. Bakrie, sebelum menduduki top eksekutif di Bakrie Telecom dan Antv sekarang, memulai karirnya sebagai staf perusahaan di perusahaan keluarganya.

Visi yang diusung (secara long-term view) oleh founder, generasi pertama, terkadang berbenturan dengan ketidakfokusan pada penerusnya, generasi kedua. Bahkan perbedaan visi dapat mencuat dan dominan ketika di antyara generasi kedua mempunyai keinginan yang bersebrangan.
Keinginan founder, melalui bisnis yang dirintisnya untuk mensejahterakan keluarganya, ketika bertumbuh besar akan mengahdapi sejumlah tuntutan lebih luas. Tidak saja kesejahteraan keluarga, tetapi karyawan dan masyarakat sekitar adalah tugas tambahan dari suatu bisnis yang berkembang.

Ke depan sudah seyogyanya tidak ada lagi dikotomi kepentingan internal dan eksternal keluarga dalam bisnis keluarga. Pengelolaan secara profesional dengan mengkaryakan pra profesional di bidangnya, upaya mensejahterakan karyawan dan berkontribusi lebih banyak terhadap masayarakat sekitar sampai kepada upaya mengankat martabat bangsa adalah hal yang semestinya terintegrasi dalam bisnis.

Dalam kasus CSR, yang sekarang sedang tren di berbagai perusahaan besar sudah sewajarnya diimplementasikan secara proporsional dan profesional dengan memandang CSR sebagai suatu kewajiban dan merupakan internal cost dari bisnis. Dengan demikian CSR tidak lagi dipandang dalam arti sempit sebagai upaya memanipulasi masyarakat dengan baju kedermawanan. Kemandirian masyarakat sekitar atas teladan perusahaan adalah acuan dalam impelemntasi CSR.

Mengingat sumbangsih bisnis keluraga di Indonesia sangat signifikan dalam perekonomian nasional. Harapan besar kepada bisnis keluarga agar dapat mengangkat bangsa ini kepada martabat yang merdeka, mandiri dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Jangan sampai pemeo ”generasi pertama menemukan, generasi kedua mengembangkan dan generasi ketiga menghancurkan.” terjadi pada asset bangsa ini.

(S. Ihsan)

Comments

Anonymous said…
enak ya kl punya bisnis yg sukses....hidup terasa lebih indah, tiap hari tersenyum , bebas mau melakukan apa saja tanpa beban...dooughh (tante rossa jayanti)

Popular posts from this blog

Risalah Kebohongan: BAB II — KECELAKAAN BESAR BAGI PARA PEMBOHONG

Attitude, Aptitude dan Altitude

Al Fatihah dan AlFath: Membuka Kemenangan