YAKINLAH, DI SETIAP KESUKARAN SELALU ADA JALAN

The Power tend to corrupt but…
Powerless Tend to Corrupt too

(Amin Rais)

Menjalani hidup sebagai rakyat jelata di negeri ini lebih seperti sebuah perjuangan hidup dan mati. Tak ada jaminan yang bisa dijadikan pegangan bahwa apa yang akan diperoleh esok hari adalah sesuatu yang lebih baik. Bahkan tak ada jaminan bahwa esok hari akan benar-benar ada.

Sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak, dan tingginya angka inflasi menambah beratnya nafas yang harus dihela setiap hari. Hirarki kebutuhan hidup tidak pernah bergeser dari garis terbawah, basic needs: sandang, pangan, papan, biologis. Keamanan, kenyamanan, bahkan harga diri, kadang diabaikan demi memenuhi basic needs. Jadi jangan bicara tentang aktualisasi diri. Tak perlu ada aktualisasi diri jika perut masih keroncongan.
Pada kondisi ini rakyat lapar tidak bisa lagi diberi ruang berfikir, nasehat bahan kesabaran. Pada titik ini pula nilai-nilai anarkis begitu dekat. Apalagi kalau di kehidupan sekitar terlihat begitu jomplang, penuh dengan kemegahan yang sengaja atau tidak dipamerkan.

Pengentasan kemiskinan yang selalu menjadi prioritas pembangunan setiap kali terjadi pergantian pemimpin bangsa nampaknya tetap bertahan sebagai slogan dan rutinitas program. Bagaimana tidak, jika di tempat A sekelompok masyarakat tersentuh oleh program ini, di tempat B lahir sekelompok lain yang memerlukan penanganan serupa. Belum lagi munculnya kelompok-kelompok “balon” yang memanipulasi diri sebagai masyarakat miskin dan memanfaatkan program tersebut untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Atau rantai korupsi yang selalu menyertai langkah setiap kegiatan yang menyertakan lembaran uang di dalamnya.

Kasus menggelembungnya angka kemiskinan di Indonesia hampir dua kali lipat terjadi akibat program yang mungkin meniadakan sisi prestise kemanusiaan. Ya, program BLT (Bantuan Langsung Tunai) sebagai kompensasi kenaikan BBM telah menutup harga diri sebagaian rakyat kita untuk menyatakan diri sebagai pihak yang perlu dikasihani dan digelari dengan sebutan si MISKIN, maka angka kemiskinan yang sebelumnya (hanya?) 40 juta jiwa sontak naik ke angka 70 juta jiwa.

Kegagalan ini tentu bukan tanpa sebab. Bantuan yang diberikan kepada masyarakat cenderung bersifat bagi-bagi semata. Tak ada kontrol atas kegiatan yang didanai oleh program tersebut, apalagi pembekalan dan pelatihan, .tak ada pula tindak lanjut atas program bagi-bagi ini. Masyarakat yang nota bene belum terbiasa memegang faktor produksi capital cukup besar dibiarkan kebingungan sehingga capital tersebut beralih fungsi menjadi dana konsumtif. Beruntung bagi mereka yang sudah terbiasa dan mampu memanfaatkannya dengan membangun entrepreneurship. Namun, persentase yang berhasil ini sangat jauh di bawah jumlah masyarakat yang mengalami kegagalan. Sehingga tak ada kemajuan signifikan yang diperlihatkan usai program pengentasan kemiskinan ini selesai bergulir, melainkan keterpurukan ekonomi yang makin parah.

Mungkin masyarakat kita memang belum seluruhnya memiliki jiwa entrepreneurship. Masih mending kita masih bisa menjadi pengecer (retailer) walau bukan produsen. Namun cita-cita menjadi pegawai atau buruh Sebagian besar masyarakat pun merupakan kalangan menengah bawah yang membelanjakan sebagian besar penghasilannya untuk konsumsi karena tidak memiliki kelebihan untuk menabung ataupun investasi. Sementara, masyarakat lebih mampu takut mengambil resiko bisnis, akibatnya lebih suka menyimpan uang dalam bentuk tabungan dan deposito ketimbang menjadikannya modal kerja.

Tidak mengherankan, pada saat masyarakat miskin mendapat bantuan dana yang seyogyannya digunakan sebagai modal usaha, mereka terlebih dulu memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang memang menunggu untuk dipenuhi sejak lama.

Jika paradigma ini tetap bertahan, maka jangan berharap bahwa suatu saat kemiskinan akan benar-benar musnah dari permukaan negeri ini.

Berarti, langkah konkrit apa yang bisa dilakukan?

Pertama, menggali potensi yang benar-benar sudah terdapat di masyarakat. Kenapa tidak memberi modal dan akses usaha lainnya bagi pengusaha yang sudah tergolong maju (tidak menutup peluang bagi usaha kecil dan mikro) sehingga usahanya lebih berkembang dan mampu merekrut tenaga kerja lebih banyak. Golongan ini tentu telah terbiasa mengolah capital dan sumber daya, oleh karena itu resiko kegagalan lebih kecil dibanding menyerahkan capital kepada mereka yang sama sekali belum berpengalaman dan tidak memiliki akses ke jalur usaha manapun. Begitu pula dengan pembinaan, golongan pengusaha ini tentu sudah memiliki pengalaman lebih dari cukup sehingga mampu bertahan dalam persaingan, sehingga pemerintah hanya perlu terlibat dalam kontrol atas dana yang telah diberikan.

Kedua, memberi kemudahan usaha terutama bagi pengusaha domestik dalam banyak hal. Misalnya insentif pajak bagi pengusaha domestic, akses pemasaran dan informasi. Sehingga mereka tidak ketakutan setiap kali menghadapi masa pembayaran pajak dan bisa mengembangkan usaha dengan tenang.

Semakin banyak usaha yang berkembang, makin banyak pula tenaga kerja yang terserap. Dengan demikian, pendapatan masyarakat akan meningkat pula. Hal ini akan lebih efektif ketimbang membagi-bagi uang pinjaman negara yang nantinya malah mencekik rakyat perlahan-lahan.

Bukankah salah satu criteria pemimpin yang baik adalah punya visi ke depan yang baik (visioner)? Sepintas persoalan di depan mata yang dihadapi rakyat miskin seolah-olah teratasi dengan bagi-bagi uang, namun sampai waktu kapan pemerintah mempunyai dana yang cukup? Akankah kemandirian dan nilai prestise bangsa ini akan terjamin di masa yang akan datang?

(Nung & Ihsan)

Comments

Popular posts from this blog

Risalah Kebohongan: BAB II — KECELAKAAN BESAR BAGI PARA PEMBOHONG

Attitude, Aptitude dan Altitude

Al Fatihah dan AlFath: Membuka Kemenangan