Tempeleng Saja!

Ini kisah yang saya dapat dari temen, tentunya disampaikan secara lisan. Sekedar niat berbagi saya coba tuliskan dan kemungkinan ada di antara rekan-rekan yang telah mendapatkan kisah ini:

Tersebutlah anak muda yg sedang gandrung belajar agama. Dengan kemampuan nalar yang mengagumkan tidak salah kalau bacaan yang jadi target adalah bacaan yang berat-berat, seputar filsafat-akidah, dialektika-nya Karl Mark, Islam Liberal, Kiri Islam, dan sebagainya.

Dengan modal nalar dan kemampuan logika yang baik serta referensi dari buku para ahli mantik, mu’tajilah, ushuludin, dsb... timbullah niat untuk mengajukan 3 pertanyaan kepada seseorang yang dianggapnya menguasi tentang agama Islam.

Sampailah si Pemuda tadi ke hadapan Kyai tradisional. Disebut ’tradisional’ mungkin karena tidak mengemuka alias jauh dari publikasi, seperti Aa Gym, Ust. Jufri, Ilham Arifin, dsb.
"Pa Kyai, saya gak percaya sama Tuhan”, tantangnya. Tanpa menunggu reaksi Kya, pemuda itu terus bertutur. Katanya, ”Tuhan itu...”, katanya, ”Kalau ada pasti akan terlihat wujudnya. Bisakah Pa Kyai menunjukkan wujud Tuhan? Tidak, kan?! Dan mengapa kita harus mengabdi kepada sesuatu yang tidak jelas wujudnya??
”Pa Kyai, saya juga tidak percaya sama taqdir!” kali ini dengan kepala mendonghak.
”Karena saya ga percaya sama Tuhan maka saya juga ga percaya bahwa yang menetukan nasib buruk-baik di kehidupan ini adalah Tuhan. Manusialah yang berkuasa untuk menentukan apakah saya akan hidup sukses atau sebaliknya! Apa yang terjadi dengan kita tidak ada urusannya dengan kuasa tuhan!”, tegasnya. Lagi-lagi Pa Kyai hanya tersenyum.

”Pa Kyai..” lanjutnya, ”Saya juga ga percaya sama neraka. Katanya, setan itu terbuat dari api, nerakapun juga merupakan api panas. Api ketemu api ya... ga bakal bikin sakit, Pa Kyai...!” tentunya ’khotbah’ si pemuda juga disampaikan dengan berapi-api pula.
”Jadi buat apa saya percaya sama pedihnya api neraka!”.

Berbeda dengan dua reaksi sebelumnya, dengan tiba-tiba, telapak tangan pa Kyai mendarat telak di pipi kiri pemuda ‘intelek’ tadi.
”Lho, kenapa memukul saya, Pa Kyai!?” tanya pemuda tadi setengah kaget juga mugkin takut.
”Kalo pa Kyai ga bisa jawab pertanyaan ya sudah ga usah mukul, Pa ...”
”Justru, itu saya harus nempeleng kamu!”, tegas Pa Kyai.
”Kenapa?”
”Karena itulah jawabannya”.
”Begini anak muda, Kenapa anda marah dengan tindakan saya?”
”Ya marah Pa Kyai, ditempeleng kan sakit”, belanya.
”Memang, kamu tahu wujud sakit sepeti apa?”
(sang pemuda terdiam)
”Kamu tidak bisa menemukan wujud sakit, tapi toh kamu dapat merasakannya. ”Itulah mengenai Tuhan yang kamu sangkal tadi”. Kemudian Pa Kyai melanjutkan penjelasannya, dengan pertanyaan:
”Apakah kamu mengetahui sebelumnya bahwa saya akan memukul kamu?
”tidak”
”Atau apakah kamu semalam bermimpi sesuatu”
”tidak, pa Kyai”
”Bermimpi dipukuli orang, misalnya?”
”saya sudah jawab tadi, tidak!, Pa Kyai...!”
”Nah Itulah takdir, juga hal yang engkau ingkari tadi”
”Anak muda...”, Kyai tadi meminta perhatian lawan bicaranya,
”Apakah kamu tahu bahwa telapak tangan yang digunakan menempeleng kamu, terdiri dari kulit, daging dan tulang?”
”Iya”
”Bukankah bagian-bagian tadi juga yang kau dapatkan di bagian pipimu?”
”Betul pa Kyai...”
”Jadi apa masalahnya kalau api bertemu dengan api? Dan mengapa kamu menyimpulkan tidak akan terasa sakit”

Demikianlah, 3 pertanyaan ’berat’ dari pemuda tadi terjawab sudah dengan satu ’pukulan telak’ di pipi....

Popular posts from this blog

Attitude, Aptitude dan Altitude

Risalah Kebohongan: BAB II — KECELAKAAN BESAR BAGI PARA PEMBOHONG

Al Fatihah dan AlFath: Membuka Kemenangan