Istilah “Agama” Mereduksi Nilai Islam sebagai Diin

Oleh: Setiadi Ihsan

Lebih dari 7 abad Islam berjaya memimpin dunia, dimulai abad 6 M sampai dengan 12 M. Dimulai dari Kepemimpinan Muhammad Saw di Madinah (622-632M) sampai dengan Daulah Abbasiyah (750 -1258M) yang dilanjutkan dengan Kekhalifahan Turki Usmani yang jatuh pada tahun 1342M.
Selam itu pula, Islam nelahirkan karya-karya luar biasa bagi kemanusiaan, melahirkan banyak ilmuwan, mewariskan buku dan risalaha sains, filsafat dan matematika. Pada masa tersebut pula peradaban ada pada kendali umat Islam. Akankah itu hanya sekedar kenangan-romantisme sejarah? Apa yang salah dengan umat Islam?

Dinul Islam atau Islam sebagai Diin, disebutkan dalam surat Almaidah (5):3, “Islama Diina.” “Diin” sendiri sering diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai “agama”. Bagitu banyak definisi dari kata “agama” itu sendiri. Sebagai contoh saya kutipkan beberapa pendapat mengenai agama.
Agama, dalam bahasa Sangsekerta berarti tidak kacau (a = tidak dan gama = kacau) dipakai untuk menjelaskan hubungan manusia dengan Tuhan-Nya dalam kerangka kepatuhan terhadap aturan untuk mewujudkan kehidupan yang  sejahtera, damai, selamat dan tentram.
Agama, dalam definisi di atas secara gambling menjelaskan hubungan manusia dengan Tuhan dengan tujuan keselamatan, ketentraman dan sejenisnya.

Sementara dalam Wikipedia ditemukan definisi agama sebagai sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari kehidupan. Hal ini selaras dengan pandangan Clifford James Geertz, seorang ahli antropologi asal Amerika Serikat yang banyak meneliti kajian agama (khususnya Islam), perkembangan ekonomi, struktur politik tradisional, serta kehidupan desa dan keluarga, dengan sederhana menyebutnya sebagai sebuah "sistem kultural" (Clifford Geertz, Religion as a Cultural System, 1973).
Dalam definisi ini, dijelaskan bahwa agama adalah produk budaya, cultural system.

Dalam bahasa Inggris, agama dipadankan dengan kata  religion. Kata religion berasal dari bahasa Latin "religio" (yang menempel atau dipertahankan, ikatan moral, kecemasan akan kesadaran diri, keberatan) yang digunakan oleh orang Romawi, sebelum Yesus Kristus, untuk menunjukkan penyembahan setan. Asal mula "religio" diperdebatkan sejak jaman dahulu. Cicero mengatakan itu berasal dari "relegere" (untuk membaca lagi, untuk memeriksa kembali dengan hati-hati, untuk mengumpulkan) dalam arti "untuk mempertimbangkan dengan hati-hati hal-hal yang berkaitan dengan pemujaan terhadap tuhan".
Kemudian, Lucretius, Lactancius dan Tertullianus melihat asal-usulnya dalam "religare" (untuk menghubungkan) untuk merujuk "ikatan kesalehan yang mengikat Tuhan".
Awalnya digunakan untuk agama Kristen, penggunaan kata “religion” secara bertahap diperluas ke semua bentuk demonstrasi sosial yang berkaitan dengan hal-hal yang sakral.
 
Sementara “Diin” Menurut G.A. Parwez dan kamus Arab Lane Lexicon, akar kata din (dal-ya'-nun) di dalam al-Quran merangkumi pengertian-pengertian selain agama, berupa: suatu sistem, undang-undang, jalan hidup, code of conduct atau akhlak, taat/patuh, rendah diri, pengesahan dan pembalasan/penghargaan. Kata ini telah digunakan dalam berbagai bentuk dan arti, contoh: kekuasaan, supremasi, keadaan berkuasa, kedaulatan, mengendalikan, hukum, undang-undang, menjadi tuan, pemerintahan, kerajaan, keputusan, hasil yang terbatas, penghargaan dan hukuman. 

Beberapa pengertian Deen, saya kutipkan sebagai berikut:
Pada sisi lain, kata ini juga digunakan dalam pengertian ketaatan, ketundukan dan kesetiaan (Taj/ Moheet). 
Pengarang Lataaif-Ul-Lughaat menyatakan bahwa arti kata ini adalah pertanggung-jawaban, supremasi, perencanaan atau kebiasaan. 
Dalam Kitaab-Ul-Ishtiqaaq arti kata ini adalah ketaatan, kebiasaan, dan lain lain.
Di 
Al-Quran, kata ini digunakan dalam hampir semua pengertian di atas dan tersebar pada 79 ayat.
Diin juga berarti suatu kebiasaan yang berulang, maka hujan yang selalu turun pada daerah tertentu disebut Diin (Taj). 
Ad-Diin juga berarti menyerah kepada otoritas yang tertinggi yang menyediakan kebutuhan kepada keseluruhan alam semesta dan menetapkan hukum dan undang-undang (2:131-132); pada tempat lain disebut Islam. 
Ayat 56:86 menyebutkan tentang orang-orang yang tidak di bawah otoritas dan perintah siapapaun yang disebut Ghaira MaDiin; 

Pada ayat 12:76 Diin-Ul-Malik disebutkan sebagai hukum dari raja; dan pada ayat 24:2 Diin-Illah disebutkan sebagai Hukum Allah; Bagaimanapun, pada ayat 24:25 disebutkan dengan pengertian penghargaan dan hukuman. Diin dapat juga berarti pertanggung-jawaban (Ibn Qutaiba).

Pada ayat 82:17-19, 
Al-Quran sendiri menjelaskan maksud dari kata ini dengan sebuah pertanyaan dan jawabannya: Yaumu ad-Diin; dan apa yang kamu ketahui tentang Yaumu ad-Diin itu? Yaumu ad-Diin adalah ketika manusia tidak mempunyai kuasa atas manusia lainnya dan semua urusan umat manusia akan diputuskan menurut hukum Allah; Ayat 1:3 juga menjelaskan tentang ” Yaumu ad-Diin”, periode atau rentang sejarah ketika umat manusia akan memimpin kehidupan mereka mengikuti hukum Allah sesuai kemauan bebas mereka sendiri (tanpa paksaan). Kualitas fundamental dan mendasar pada periode ini adalah ketika tidak ada manusia yang ingin mempunyai otoritas, kekuasaan atau supremasi atas manusia lain. Supremasi, kekuasaan dan otoritas hanya menurut hukum Allah. Itulah arti dari Maaliki Yaum-Id-Diin;

Hukum Allah ini dalam bentuk terakhir dan lengkap diberikan dalam 
Al-Quran, yang juga disebut Ad-Diin. Mengatur hidup kita mengikuti (sho-la-wa) hukum ini adalah Al-Islam. Sesungguhnya, ada berbagai terminologi yang lazim dipakai di dunia saat ini, seperti: sistem sosial, aturan hidup, hukum pemerintahan, undang-undang negara dll., tetapi Al-Quran Yang Kudus telah menggunakan hanya satu kata yang mempunyai pengertian yang menyeluruh, yaitu Ad-Diin. Yaitu tata tertib sosial, aturan hidup, dan konstitusi yang ditentukan oleh Allah. Menurut konstitusi ini, hanyalah Allah sendiri yang mempunyai kekuasaan dan otoritas untuk memaksakan batasan-batasan apapun, atau menarik batasan-batasan yang mengatur kebebasan manusia, dan tidak ada kuasa yang lain. Oleh karena itu, dalam Ad-Diin kedaulatan yang terakhir terletak di tangan Allah sendiri dan kedaulatan ini dijelaskan melalui KitabNya. Sebuah negara Islam adalah agen yang menyelenggarakan hukum Al-Quran ini, dan oleh karena itu, konstitusinya berisi hukum yang tidak dapat diubah dari Al-Quran. Keseluruhan fungsi dari negara seperti itu dilaksanakan dalam batasan-batasan yang ditarik berdasarkan hukum ini. Tujuannya adalah untuk memelihara keseimbangan yang ideal dalam sistem yang adil dan penuh persamaan. Inilah, yang disebut Ad-Diin.

Al-Quran Yang Kudus telah menjelaskan Islam sebagai Ad-Diin yang biasanya diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai agama. Dipandang dari sudut apa yang telah dinyatakan di atas, haruslah diakui bahwa ”agama” yang diharapkan sebagai padanan kata tersebut dalam bahasa Indonesia, tidak hanya salah, bahkan telah menyimpangkan dan mempersempit arti yang sebenarnya dari Ad-Diin. Menurut Al-Quran, Islam adalah ad-Diin yang berarti suatu aturan hidup, suatu sistem sosial, suatu pemerintahan (3:18, 5:3). Inilah ad-Diin yang Muhammad Rasul-Allah (SAW) bawa (9:33) dan akhirnya akan memenangkan atas semua cara-cara hidup lain. 

Kata Mazhab; tidak pernah digunakan oleh Al-Quran. Oleh karena itu, tidaklah sesuai mengistilahkan Islam sebagai agama atau Mazhab; Mazhab, secara pengertian harafiah, berarti sebuah jalan atau lintasan yang dibuat oleh manusia, sedangkan Diin adalah aturan, undang-undang atau sistem yang didapatkan oleh seseorang dari Allah. Itulah mengapa terdapat sangat banyak sekte yang berbeda di dalam suatu Mazhab, tetapi tidak ada di dalam Diin, dan siapapun yang memperturutkan hati kepada perpecahan dalam Ad-diin disebut Mushrik (30:30-32). 

Diin yang diwahyukan oleh Allah adalah hanya Satu dan tidak ada ruang untuk bersekte-sekte di dalamnya. Sekte-sekte dibuat oleh manusia bukan oleh Allah. Sudah dari zaman dahulu, Allah yang telah memberikan Diin-Nya kepada umat manusia dari waktu ke waktu melalui banyak Rasul, tetapi setelah mereka meninggal mereka melupakan Kitab Ilahiyah dan sebagai gantinya mereka menempuh jalan mereka sendiri. Dengan cara inilah mereka kehilangan Diin mereka, dan menggantinya dengan Mazhab/Agama buatan manusia. Akhirnya Allah memberikan Diin yang terakhir-Nya kepada umat manusia dengan Al-Quran dan terletak pada-Nyalah tanggung jawab pemeliharaannya sepanjang masa. Ini adalah Diin yang menjadi aturan hidup dan konstitusi semasa hidup Rasul-Allah (SAW). Namun sayangnya, muslimin telah mengenyampingkan Kitab Allah dan mulai mengikuti hukum buatan manusia, yaitu dengan menggantikan Diin Allah dengan Mazhab. Sebagai hasilnya, sekarang muslimin adalah serupa dengan para pengikut dari agama lain. Bagaimanapun, Kitab Allah,Al-Quran masih bersama mereka dalam bentuk aslinya dan dapat dijadikan pegangan jika seseorang ingin meraih kembali kemuliaan Islamyang pernah terjadi pada zaman dahulu.

Berikut adalah sebuah studi perbandingan tentang agama/mazhab dan Diin, semoga membantu kita memahami karakteristik penting dan mendasar masing-masing dan perbedaan antara keduanya: Agama dan Deen.
Sepenuhnya saya terjemahkan dari bagian IV : Comparison yang merupakan bagian kesimpulan dari buku Islam: A Challenge to Religion, karya G.A Parwez.
  1. Agama hanyalah semacam pengalaman subyektif dan hanya berkaitan dengan apa yang disebut hubungan pribadi antara Tuhan dan manusia. Deen adalah realitas obyektif dan sistem kehidupan kolektif.
  2. Setiap pengikut Agama merasa puas bahwa dia telah membentuk hubungan pribadi (persekutuan) dengan Yang Mahakuasa, dan tujuan masing-masing individu adalah keselamatannya sendiri. Tujuan Deen di sisi lain adalah kesejahteraan dan kemajuan semua umat manusia, dan karakter dan konstitusi sebuah masyarakat mengindikasikan apakah didirikan berdasarkan Hukum Tuhan atau tidak.
  3. Agama tidak memberi kita tujuan apapun. Kriteria yang dengannya kita dapat menentukan apakah tindakan kita menghasilkan hasil yang diinginkan atau tidak. Dalam tatanan sosial yang diatur oleh Deen, perkembangan kehidupan kolektif dan harmonis dengan benar mengindikasikan apakah orang tersebut mengejar jalan yang benar atau tidak.
  4. Agama memusuhi penyelidikan ilmiah dan merupakan musuh dari akal/argumentasi, sehingga bisa berkembang tanpa terhambat dengan bantuan kepercayaan buta. Deen membantu dalam pengembangan akal dan pengetahuan manusia, memungkinkan kebebasan penuh untuk menerima atau menolak berdasarkan alasan dan argumen, dan mendorong penyelidikan dan penemuan semua fenomena alam untuk menerangi jalan kehidupan manusia dan kemajuannya dalam terang Nilai Permanen.
  5. Agama mengikuti kelemahan dan prasangka manusia dan memanjakan mereka. Deen berusaha untuk menuntun orang ke jalan kehidupan yang selaras dengan realitas kehidupan.
  6. Di setiap zaman, oleh karena itu, Agama mendirikan berhala baru dan Mumbo-jumbos (omong kosong) agar perhatian masyarakat menjauh  dari masalah kehidupan  yang sebenarnya. Tapi Deen itu rasional dan radikal: menghancurkan semua idola, tua dan baru, dan tidak pernah berubah dalam prinsip-prinsipnya.
  7. Agama menimbulkan rasa takut abadi di benak manusia dan berusaha menakut-nakuti mereka; Sementara Deen memperlakukan rasa takut sebagai bentuk politeisme dan berusaha membuat orang berani dan mandiri.
  8. Agama meminta orang untuk tunduk di depan setiap kursi otoritas dan prestise, religius maupun temporal. Sementara Deen mendorong manusia untuk berjalan dengan kepala tegak, dan mencapai rasa percaya diri.
  9. Agama mendorong manusia untuk melarikan diri dari perjuangan hidup.Tapi Deen memanggilnya untuk menghadapi realitas kehidupan secara tepat, ppapun bahayanya.
  10. Agama memperlakukan dunia materi dengan penghinaan/jijik dan meminta orang untuk melepaskannya. Dengan  menjanjikan surga sebagai hadiah atas penolakan dunia material. Deen, di sisi lain, memerintahkan  penaklukan materi dan menuntun  manusia sampai  keada pencapaian yang tinggi, tak terukur. Deen memberikan arahan untuk mencari kesejahteraan dan kebahagiaan di dunia ini serta kebahagiaan dalam kehidupan selanjutnya (akhirat).
  11. Agama mendorong kepercayaan fatalisme, dan ini cenderung menghalangi manusia dari kehidupan aktif dan pengembangan diri. Deen memberi tenaga manusia untuk menantang takdir, dan memberi energi untuk kehidupan aktivitas dan pengembangan diri.
  12. Agama berusaha untuk menghibur yang lemah, yang tak berdaya dan tertindas dengan keyakinan bahwa urusan dunia ini diatur oleh kehendak Tuhan dan bahwa penerimaan dan pengunduran dirinya membantu untuk memuaskan mereka kepada Tuhan. Ajaran semacam ini secara alami cenderung morbiditas (sakit), dan mempercayai pemimpin agama mereka yang mengaku menafsirkan Kehendak Tuhan, sehingga mereka menuruti kesalahan mereka dengan kekebalan hukum yang sempurna dan meyakinkan para pengikut untuk tunduk secara lengkap dan tenang. Deen, di sisi lain, menaikkan panji pemberontakan melawan segala bentuk tirani dan eksploitasi. Ini menyerukan kepada yang lemah dan yang tertindas untuk mengikuti Hukum Ilahi dan dengan demikian berusaha untuk membentuk tatanan sosial di mana semua tiran dan penindas akan dipaksa untuk menerima perintah tentang hak dan keadilan. Dalam tatanan sosial ini, tidak ada tempat bagi diktator, kapitalis atau  imam. Mereka semua adalah musuh Deen.
  13. Agama memerintahkan meditasi religius atas nama penyembahan dan dengan demikian menyebabkan penipuan diri. Deen menasehati orang untuk menegaskan diri mereka dan terus berjuang untuk pembentukan Tatanan Sosial Ilahi, dan kemajuannya bila tercapai. Ibadah dalam istilah Deen benar-benar berarti ketaatan kepada Hukum Allah.
  14. Agama mengerutkan kening dan mencibir pada segala hal tentang seni dan kecantikan. Deen menentang orang-orang yang melarang kenikmatan akan hal-hal baik dan indah dari kehidupan yang telah diciptakan Allah untuk kesenangan  manusia.
  15. Agama mencela segala sesuatu yang baru dan menyatakan semua inovasi sebagai dosa. Deen berpendapat bahwa kebutuhan dan tuntutan hidup manusia terus berubah seiring dengan perubahan kondisi kehidupan; Oleh karena itu, perubahan dan inovasi dituntut oleh kehidupan itu sendiri. Hanya Hukum Ilahi yang tidak dapat diubah.
Sekarang, seharusnya mudah bagi kita untuk melihat perbedaan mendasar antara Deen dan Agama. Islam berarti mengatakan "Ya" untuk hidup; Sedangkan respon agama adalah "Tidak"!

Selanjutnya saya akan memberikan contoh bagaimana Diin yang berarti system Ilahiah yang tuntunannya terdapat dalam pedoman Quran (tadi telah dibahas bahwa salah satu makna dari Diin adalah Qur’an) memberikan makna TUGAS HIDUP MANUSIA DALAM MENEGAKKAN dan mengembangkan sistem sosial yang berlandaskan HUKUM ILAHI.

The Goodnes, The Way Of Life
QS 2:177
Agama telah menggiring kita pada pemaknaan dan tindakan sekumpulan ritual, yang menurut pengamatannya merupakan tujuan deen (agama, cara hidup). Namun, menurut AlQur’an, tujuan penting dari “way of life” tidak hanya dipenuhi oleh pertunjukan mekanis ritual misalnya, berbalik ke arah timur atau ke barat saat salat (sholat), namun membutuhkan:

  1. Iman (keyakinan) pada Allah; Iman kehidupan akhirat, Malaikat, anbiya (para nabi) dan kepada kitab-kitab yang diwahyukan melalui para anbiya (2: 4); dan
  2. Mengikuti hal di atas dengan pembngunan sistem di mana sumber daya tersedia digunakan untuk membantu mereka: yang membutuhkian, tanpa adanya perlindungan atau dukungan di masyarakat; Kehilangan sarana penghidupan atau tidak mampu bekerja; Dan tidak mampu mendapatkan atau memenuhi kebutuhan mereka. Sistem (ad-din) ini juga akan memberikan bantuan kepada orang-orang luar yang saat melewati wilayahnya (dalam perjalanan), menjadi orang miskin, dan mengatur pembebasan budak dari perbudakan.          
Singkatnya, Jalan hidup kita seharusnya membuat sebuah sistem di mana anggota masyarakat mematuhi hukum ilahi secara sukarela dan sarana pembangunan diberikan kepada semua orang yang membutuhkannya. Kita diminta harus menghormati janji dan komitmen kita. Jika kekuatan musuh menyerang kita, maka hadapi mereka dengan ketabahan dan kesabaran, dan jangan biarkan ketakutan dan keputusasaan melemahkan kita.

Bagi yang mengikuti jalan ini dengan teguh menegaskan klaim mereka menjadi sejatinya orang beriman dan mereka berhak mengklaim sebagai penegak hukum ilahi (bukan orang-orang yang mengklaim untuk mewarisi surga dengan mengamati ritus-ritus tertentu yang mereka klaim adalah agama (sebagai cara hidup).

The basic commandments in Quran: An-Nahl (16):90-91

  1. Bersikap Adil bagi semua;
  2. Berbuat baik, mulailah dari orang-orang terdekat (kerabat), kemudian saudara di antara kita. 
  3. Hindari berbuat Fahsyah: Keji, Tidak Senonoh, Kikir dan Musyrik.
  4. Hindari apa yang dilarang Alquran (Munkar)
  5. Jangan melanggar batas yang ditentukan oleh Allah;
  6. Memenuhi perjanjian dengan Allah (9: 111) dan
  7. Jangan melanggar sumpah yang menyebut nama Allah di dalamnya. (17:34, 25:16).
Dengan merujuk kepada keterangan Qur’an surat 16 ayat 90-91, seperti di atas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa Diin bukan semata ibadah ritual sebagaimana Agama ajarkan. Diin justru menuntun kepada kita dalam menegakkan system sosial berdasarkan Hukum Allah.

The 10 Commandments (QS Al-An’am 151-153)
Qs 6: 151
Allah menegaskan perintahNya kepada kita, yaitu:
  1. Janganlah Kita mempersekutukan sesuatu dengan-Nya;
  2. Berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa,Hindari berbuat Fahsyah: Keji, Tidak Senonoh, Kikir dan Musyrik.
  3. Janganlah membunuh anak-anak kita karena takut kemiskinan.
  4. Janganlah kita mendekati perbuatan-perbuatan yang fawahisya (mendekatkan pada syirik, tidak senonoh, tidak perlu), baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi.
  5. Janganlah kita membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar".
  6. Janganlah kita mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa.
  7. Sempurnakanlah takaran (measurement) dan timbangan dengan adil.
  8. Hendaklah kitaberlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat,
  9. Penuhilah janji dengan Allah (berpegang teguh/kokoh setia dengan tali Allah/sistem Ilahi).
  10. Mengikuti Jalan yang Lurus (Shirathal Mustaqiim), dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya
Allah tegaskan dalam ayat 153 di atas: “dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah SHIRATHAL MUSTAQIM jalanKu yang lurus. Disini Shirathal Mustaqim, tidak lagi berarti hal mistik sebagaimana Agama tafsirkan sebagai satu lintasan nanti di yaumil akhir yang kecilnya seperti rambut dibelah tujuh. Shirathal Mustaqiim adalah real path dan the right path bagaimana kita menjalani hidup dalam upaya mengabdi (beribadah, dalam pengertian mematuhi setiap hokum Allah) kepadaNya.

Demikian juga dengan konsep shalat. Sholat (shad, Lam- Wau atau Shad, Lam-Ya) . Secara bahasa berarti: Memelihara/Menjaga kedekatan dengan sesuatu.
Musholli dalam bahasa Arab, adalah dikenal dalam istilah pacuan kuda. Bagi kuda yang berada/finish di urutan kedua (mengikuti sang juara) disebut Mushalli. Dan kuda yang finish di urutan pertama disebut Sabiq.
Musholli adalah kuda yang berada pada tempat kedua dalam suatu pacuan kuda, dan begitu dekat dengan kuda yang paling depan sehingga telinga kuda kedua tersebut menyentuh bagian belakang kuda di depannya. (Kuda yang berada di urutan satu disebut Saabiq.). Mengambil pengertian ini, maka musholli berarti yang mengikuti urutan pertama dengan sangat dekat/ menempel. Ada suatu perkataan Arab dari Ali, kalifah yang keempat, "Sabaqa Rasool-Allah, Wa sholla Abu-Bakr wa sholla Omar wa khabatatna fitnatun." Rasool-Allah merupakan yang pertama, diikuti Abu-Bakr dan kemudian Omar dan sesudah itu kekacauan menyusul kami (Taj).
Menurut Taj, Sholii Washala berarti yang menempel, menjadi tetap menempel. Berdasar acuan ini Raghib berkata bahwa ayat 74:43, "Kami bukanlah Musalliin," berarti bahwa mereka tidak mengikuti Rasul itu. Dengan acuan yang sama maka Qurtabi juga menulis bahwa Sholat berarti tetap dalam batas-batas Hukum Allah, dan Tasliih berarti berjalan di belakang seseorang dengan begitu dekat yang tidak ada jarak sama sekali; tilak mendahulinya tetapi tetap dekat/ menempel di belakangnya.

Dalam konteks dan konsep Qur'an "Mushollin" (orang yang melakukan Shalat mempunyai ciri2 dan perilaku yang jelas. Selain konsisten dalam menjaga ibadah ritual, Mushallin juga terkait dengan karakter sikap keimanan dan perilaku sosial.
Satu contoh, dalam AlQur’an Surat 70:20-34, jelas sekali disebutkan cirri-ciri atau karakter orang yang shalat (Mushallin), yaitu:

  • 1.      Suka Bederma
  • 2.      Percaya akan datangnya hari Akhir
  • 3.      Bertaqwa kepada Allah
  • 4.      Menjaga Kesucian
  • 5.      Dapat dipercaya ketika berjanji
  • 6.      Dipercaya kesaksiannya
  • 7.      Dan Memelihara Shalatnya

Dari Ciri orang yang shalat (Mushallin) yang dinyatakan dalam Al-Qur’an di atas, apakah kita masih menganggap bahwa shalat adalah sekedar ibadah ritual?
Bukankah Shalat outputnya adalah tanha ‘anil fahsya wal munkar? (29:54) yang merujuk kepada hubungan kita dalam melakukan tugas sosial.
Bukankah kita juga sering mendapatkan kata shalat bersanding dengan kata zakat (system eknomi Islam)?

Untuk menguatkan pengertian shalat bukan hanya sekedar ibadah ritual, mari kita tengok, shalat yang diserukan Nabi Shaleh kepada ummatnya, seperti terdapat dalam Quran 11:87 yang menjadi sangat penting berkaitan dengan konsep ini.
Dikatakan: "Wahai Shu'aib! Apakah Sholatmu tidak mengijinkan kami, bahkan untuk membelanjakan kekayaan kami sekehendak hati kami?"  Mereka tidak memahami bahwa Sholat itu adalah sesuatu yang memberi arah, bahkan dalam hal ekonomi; mereka pikir Sholat itu hanyalah suatu doa atau sebuah ritual singkat.




Dengan demikian kita akan bisa memahami bahwa shalat adalah tiang Ad-din.
Ayat Aqeem-Us-Sholat, ini berarti menegakkan keseluruhan system, ketaatan mengikuti aturan/ batasan-batasan (ad-diin) Allah, dan ketaatan pada semua tugas-tugas seorang Mu’min.
Demikian juga, akan mudah kita memahami bahwa salah satu pendusta sekaligus menghancurkan “Dinullah” adalah mereka yang tidak Aqeem-Us-Sholat yang benar.  Hal ini ditegaskan dalam Surah Al-Maun (107).

Para Pendusta Diin Allah adalah mereka yang dalam melakukan shalat-nya “riya’”, mereka melaksanakan shalat hanya untuk menunjukkan kesalehan di mata masyarakat, sebagai orang yang ber “agama”. Dan seperti halnya Al-Mushallin dengan karakteristik yang dijelaskan dalam Surat 70: 22-34 di atas, maka Kedermawanan, perhatian kita kepada masyarakat khususnya masyarakat yatim (orang tyang tak berdaya) dan dhuafa (miskin) adalah para pendusta, penista dan sekaligus penghancur Diin Allah.
Alih-alih mencari keselamatan dengan shalat mereka, shalat yang tidak menegakkan Ad-din, justru mereka mendapatkan “wail”, kecelakaan.

Semoga Risalah ini dapat mengingatkan saya khususnya dan sahabat-sahabat pada umumnya akan ke-luas-an makna Diin Al-islam. Tidak seperti pengertian agama yang lebih mengedepankan hubungan pribadi dengan Tuhan (ritual), mementingkan keselamatan diri dan pada akhisnya menjadikan kita jumud, jahil dan apatis terhadap penegakan Hukum Ilahi.
Begitu bahayanya ketika kita mereduksi makna Din Al-Islam menjadi Agama.  

'Jika aku sesat, maka sesungguhnya aku sesat atas kemudharatan (oleh) diriku sendiri; dan jika aku mendapat petunjuk, maka itu adalah disebabkan (oleh) apa yang diwahyukan Rabb-ku kepadaku. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, lagi Maha Dekat'." – (QS.34:50)

Popular posts from this blog

Risalah Kebohongan: BAB II — KECELAKAAN BESAR BAGI PARA PEMBOHONG

Attitude, Aptitude dan Altitude

Al Fatihah dan AlFath: Membuka Kemenangan