Belajar menjadi Seorang yang Asertif

Sumber: Google
Komunikasi menjadi penting bagi kehidupan manusia, ketika fakta bahwa manusia sebagai makhluk sosial, maka manusiatidak akan lepas dari interaksi antar manusia. Sejarah panjang perkembangan manusia telah sampai kepada teknologi mutakhir dalam berkomunikasi dengan menggunakan alat canggih yang meniadakan atau mereduksi hambatan jarak dan waktu. Perlu diingat juga, berbicara sejarah ditandai dengan mulainya ditemukan tulisan (writing) sebagai salah satu kegiatan KOMUNIKASI. Komunikasi menjadi penting ketika sering kali konflik antar manusia terjadi karena kesalahfahaman (misuderstanding) dalam berkomunikasi. Kesalahfahaman terjadi karena fakta adanya berbagai hambatan (barrier) atau gangguan (disturbance) dalam proses pertukaran pesan. Misal, keterbatasan pengliatan, pendengaran, pemahaman akan sebuah kata/tulisan/simbol, perbedaan budaya, status sosial, psikologi dan banyak faktor lainnya. Inilah pentingnya komunikasi intra dan interpersonal. Hal ini juga, yang pada akhirnya menjadikan bahasan mengenai komunikasi semakin berkembang ke persoalan bahasa, psikologi, sampai kepada teknologi.

Dalam tulisan ini, saya ingin mengajak kepada satu topik komunikasi, yaitu KOMUNIKASI ASERTIF, sebagaimana dalam artikel sebelumnya, disebutkan bahwa keterampilan berkomunikasi dalam proses sosial akan dapat memahami pesan dalam Al-Qur’an.

Bila sekedar pesan atau informasi yang disampaikan komunikator diterima dengan baik oleh  komunikan, maka komunikasi sudah dapat dikatakan EFEKTIF. Komunikasi EFEKTIF tidak akan tercapai ketika tidak adanya KEJELASAN dalam penyampaian pesan. Sementara ketidakjelasan yang berujung kepada kesalahfahaman, sudah disinggung di atas, disebabkan adanya berbagai hambatan. Satu hal dari sekian banyak hambatan, jangan sampai dilupakan, adalah faktor internal dari si Pengirim  pesan, yaitu rasa PERCAYA DIRI (CONFIDENCE). Rasa percaya diri mendorong seseorang untuk berbicara, menulis atau menyampaikan pesan secara lugas, jelas dan benar.   

Dalam komunikasi asertif, bukan sekedar efektif, namun juga mengharuskan adanya dampak yang tidak membuat si penerima pesan menjadi marah, tersinggung, terhina, direndahkan dan sebagainya. Dengan demikian, dalam komunikasi asertif bukan hanya mengejar kejelasan, kelugasan dan kebenaran dalam penyampaian pesan yang ditunjang dengan rasa PERCAYA DIRI, lebih dari itu, aspek EMPATI, yaitu: kemampuan menilai pribadi kita dengan ukuran orang lain; atau kemampuan seseorang dalam memahami keinginan, fikiran dan tindakan orang lain; atau kemampuan dalam meleburkan batas diri dan orang lain. 

Dalam komunikasi Asertif, diperlukan pemahaman akan orang lain meliputi: kepribadian/karakter/watak, cara berfikir dan cara berprilaku, termasuk pemahaman akan adanya ego orang lain selain ego diri sendiri. Ketika dikembangkan dalam spektrum yang lebih luas maka pemahaman empati ini dapat menjangkau kepada ranah perbedaan usia, pekerjaan, profesi, keyakinan dan sebagainya.

Berbicara kepribadian, misalnya, mengacu kepada teori Hipocrates yang membagi kepribadian ke dalam golongan: Sanguinis (Pribadi yang memesona/menarik/menghibur), Plegmatis (Bersahabat/pecinta damai/filsofis), Melankolis (si tekun/penyendiri/sensitif), dan Koleris (si Tegas/Kaku/Sok Ngatur), masing-masing pribadi mempunyai ego dalam mengedepankan karakternya. Ketika rasa EMPATI ini tidak ada, maka komunikasi efektif bisa saja terjadi namun tidak ada jaminan bahwa komunikasi yang terjadi dapat berlanjut dengan baik. Sang Sanguinis, misalnya, selalu memandang remeh semua persoalan karena selera humornya yang tinggi; pembawaannya yang doyan bicara dan diakui sebagai pribadi menarik bisa saja menjadikannya selalu mendominasi dalam sebuah komunikasi. Pujian dari lawan bicara adalah salah satu hal yang dinantinya sehingga objektivitas dan tujuan bersama tidak lagi menjadi fokus utama. Kalau ini dibiarkan, maka tujuan bersama (sebagaimana makna yang tersurat dari makna komunikasi) dalam sebuah hubungan sosial tidak akan tercapai.    

Dalam kasus di sebuah organisasi, satu lingkup tugas dari sub-organisasi yang memerlukan adanya usaha mencari, melayani, dan memelihara hubungan baik dengan pelanggan, seperti pada tugas Pemasaran (Marketing), Hubungan Masyarakat/Publik (Public Relation), Pelayanan Pelanggan (Customer Service) dan sejenisnya, sering kali para pelaksana tugas di area ini sangat permisif dan fleksible dalam meyikapi sebuah aturan. Dampak dari sikap/metalitas ini tentunya sangat berpengaruh kepada lingkup pekerjaan yang sebaliknya sangat memegang aturan dan prosedur, seperti tugas operasional, keuangan dan audit. Di sisi lain,sebuah  organisasi, baik lembaga profit ataupun non profit sering mencari personel/SDM dengan kualifikasi kepribadian yang cocok dengan lingkup pekerjaan. Misal, bagian keuangan sering diisi oleh orang-orang dengan pribadi melankolis atau koleris di mana kedisiplinan dan ketegasan adalah pribadi melekat pada mereka. Demikian juga untuk posisi marketing/front liner sering diisi oleh pribadi-pribadi Sanguinis atau plegmatis yang lebih berorientasi kepada pertemanan dibandingkan dengan pekerjaan/tugas. Hal-hal di atas adalah berpotensi terjadinya misscommunication. 

Dapat dibayangkan, bagaimana akhir dari sebuah komunikasi, baik itu interpersonal ataupun komunikasi lintas bidang ketika para komunikator/komunikan berjalan dengan ego-karakter masing-masing. Di sinilah kemampuan asertif dibutuhkan. Berbicara komunikasi asertif, maka sekali lagi EMPATI adalah kuncinya. Apakah empati dimiliki hanya oleh satu kepribadian atau satu bidang pekerjaan saja? Apakah empati hanya bisa dilakukan oleh seorang plegmatis? atau bidang public relation dan front-liner? Apakah seorang koleris atau melankolis atau bagian finance atau audit tidak bisa mengembangkan empati?

Empati sebagaimana rasa percaya diri adalah bagian dari pembelajaran komunikasi. Komunikasi selain sebagai ilmu juga adalah sebuah keterampilan yang tentunya bisa dipelajari. Demikian juga  empati sebagai bagian dari sikap dan nilai kepribadian juga bisa dilatih. Berbagai teori kepribadian yang ada saat ini hanyalah sebagai gambaran awal seseorang. Seseorang yang dikelompokkan dalam pribadi Directive (D) dalam teori DISC atau Koleris yang menurut Teori Forsyth mereka yang yang berorientasi kepada tugas/pekerjaan bukan berarti individu yang sama sekali tidak bisa menjalin pertemanan. 

Sumber: Google
Seorang yang asertif adalah seseorang yang faham akan kebutuhannya sekaligus kebutuhan orang lain. Kepahaman ini yang pada akhirnya akan timbul sikap empati dengan tidak hanya berfikir untuk mengakomodir kebutuhannya saja. Seorang Asertif adalah seorang yang supel, yang tidak hanya melulu berorientasi tugas atau manusia/pertemanan namun berorientasi baik kepada tugas ataupun manusia. Seorang asertif bukanlah pribadi yang menarik diri dari manusia/lingkungan (pasif) juga bukan pribadi yang agresif tanpa memperhatikan perasaan orang lain. Seorang yang asertif adalah seorang yang berorientasi pada sasaran, punya tekad kuat, tidak ragu dalam mengambil keputusan, dan ia pun seorang yang bersahabat.

Sudah banyak cara/tips yang dianjurkan para pakar komunikasi dalam mengasah sikap empati. Dalam kesempatan ini, saya hanya bermaksud mengingatkan pengetahuan kita bahwa aktualisasi iman (=keyakinan, katakanlah anda yakin empati bisa dipelajari) adalah tindakan/perbuatan. Dengam mengambil ilmu Tuhan dalam kitab-Nya, Amal sholeh (baca: berbuat kebaikan) selalu dilekatkan mengikuti kata “iman” Ini artinya adalah bahwa kebaikan merupakan aktualisasi dan pembuktian iman itu sendiri. Seorang yang mengatakan dirinya beriman kepada Tuhan itu tidak lantas mempunyai nilai keimananan ketika belum dibuktikan dalam amal sholeh. Inilah yang ingin saya katakan bahwa kebiasaaan berbuat baik adalah awal dari adanya sikap empati. Berbuat baik bisa dimulai dengan memberikan senyuman terbaik kepada seseorang. Berbuat baik bisa dengan cara menyingkirkan duri/pecahan kaca dari jalanan. Berbuat juga baik bisa dilakukan dari kebiasaan menolong orang lain atau mendengarkan seseorang yang berbicara. So many ways to do good deeds!

Terakhir, dalam ilmu komunikasi dikenal motto: The best communicator is a good listener. Kehebatan seseorang dalam berkomunikasi tidak diukur seberapa piawai orang itu dalam mengolah kata atau berorasi, namun sejeauh mana seseorang mampu menjadi pendengar yang baik, tentunya bukan hanya sekedar mendengar (to hear), tetapi mendengarkan (to listen). Demikian juga the best communicator bukanlah sebutan bagi seseorang yang piawai dalam menulis tetapi justru dialah seorang pembaca yang baik.

Perbanyaklah kebaikan, maka anda akan menjadi pribadi yang empatis. Dengan sikap empati itulah keahlian berkomunikasi asertif akan anda dapatkan.

Jakarta, 27 Feb 2018


Popular posts from this blog

Risalah Kebohongan: BAB II — KECELAKAAN BESAR BAGI PARA PEMBOHONG

Attitude, Aptitude dan Altitude

Al Fatihah dan AlFath: Membuka Kemenangan