Komunikasi dan Kebaikan Sejati

Sumber: Google
Bahwa semua agama mengajarkan kebaikan adalah hal yang tidak sulit untuk mendapatkan kesepakatan di antara manusia. Dibandingkan soal keyakinan/faith/believe/keimanan, persoalan kebaikan menjadi titik temu di antara agama yang ada di dunia. Kebaikan seharusnya bersifat universal. Kebaikan menyangkut kemanusiaan, misalnya, harusnya berlaku bagi semua manusia tanpa kecuali. Kebaikan "ritual" seringkali melupakan kepada kebaikan hakiki. Dalam satu agama pun, kebaikan ritual sering kali sulit untuk disepakati.

Sementara itu, dalam Dinul Islam, justru manusia diingatkan bahwa keimanan/kepercayaan harus sejalan dengan kebaikan (kemanusiaan dan ritual).

Ayat 177 Surat Al-Baqarah menjelaskan sebagai berikut:   
"Kesalehan/kebaikan sejati bukanlah dengan menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, akan tetapi sesungguhnya Kesalehan/kebaikan sejati itu ialah beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat-keluarga nya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir/pelancong (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya/perbudakan, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan/masa bahaya. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS 2:177)

G.A Parwez dalam Explanation of The Holy Quran menjelaskan ayat ini dengan memulainya dengan keberadaan civil law berupa fabricated syari'ah atau Syariah palsu yang menurutnya hanyalah kumpulan ritual, yang ketaatannya dipegang untuk tujuan agama (agama, cara hidup). Menurut hukum ilahi, tujuan penting dari agama/dien/cara hidup tidak dipenuhi oleh pertunjukan mekanis ritual, misalnya, berbalik ke arah timur atau ke barat saat salat, namun membutuhkan paket keimanan mulai dari kepercayaan pada Allah; Hari ahir dimana berlaku Hukum Mukafat (retribusi, perhitungan sesuai dengan apa yang dilakukan); kepada malaikat; para nabi dan kitab-kitab yang diwahyukan melalui para Nabi; Dan menyusul setelah itu adalah pembentukan sistem di mana semua sumber daya termasuk manusia yang ditujukan dalam pemenuhan kesejahteraan manusia itu sendiri.

Keharusan tegaknya sebuah sistem di mana anggota masyarakat mematuhi hukum ilahi secara sukarela dan sarana pembangunan diberikan kepada semua pihak yang membutuhkannya. Dalam kaitannya dengan hubungan antar manusia, kita harus dapat saling menghormati (respek) sesama manusia dengan terkait janji dan komitmen kita, tolong-menolong, kesabaran dan ketabahan dalam sebuah kondisi bahaya jangan sampai ketakutan dan keputusasaan melemahkan kita.

Inilah, mereka yang mengikuti jalan ini dengan teguh membela klaim mereka sebagai orang yang beriman dan mereka berhak mengklaim sebagai penegak hukum ilahi (bukan orang-orang yang mengklaim untuk mewarisi surga dengan mengamati ritus-ritus tertentu yang mereka klaim adalah agama).

Menarik apa yang disampaikan oleh Zia H Shah MD, Chief Editor of the Muslim Times, dalam link berikut, bahwa serangkaian keyakinan yang dilanjutkan dengan serangkaian perbuatan baik, hubungan yang rumit antara keduanya. Banyak yang mengambil seperangkat keyakinan sebagai dogma atau tongkat sihir yang jika dipercaya akan menghasilkan kesuksesan tertentu di sini dan di akhirat. Tapi, lihat apakah kita (harus) percaya bahwa Yesus telah mati karena dosa-dosa kita atau dalam hal ini Musa atau Yusuf mati untuk dosa-dosa kita atau Muhammad SAW pernah memasuki surga secara fisik, gagasan atau kepercayaan yang dipegang teguh ini tidak berbeda dari pengetahuan atau kepercayaan bahwa meja yang sedang saya lihat di tengah kamar saya, saat ini terbuat dari kayu.
Menurutnya, keyakinan seperti di atas tidak memiliki nilai transformatif pada karakter. Tetapi, sebuah kepercayaan yang dikumpulkan melalui pengalaman hidup yang panjang. di dalam Tuhan Yang Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Penyayang dan Yang Maha Lembut, yang mencintai kita dan telah mengungkapkan diri-Nya melalui para nabi dan kitab suci dan mengajarkan kita masalah pertanggungjawaban pada Hari Pengadilan, memiliki kemampuan untuk tersentak jiwa kita dan membuat karakter berbelas kasih, dan jujur. Keyakinan yang begitu dalam dipegang dan berpengalaman dan tidak ada serangkaian dogma yang tersirat dalam ayat Surah Baqarah ini. Singkatnya, agama adalah berbicara tentang menjalani kehidupan belas kasih yang jujur, yang menunjukkan kebaikan dan bukan tentang obsesi terhadap dogma atau ritual atau yang memiliki otoritas keagamaan.

Saya kira, cukup untuk menjelaskan pentingnya ruh agama dalam konteks penciptaan sistem di dunia terkait dengan kesejahteraan manusia, seperti tujuan diutusnya para Nabi sebagai rahmat bagi alam ini.

Kini, kembali kepada ajaran pertama dari Tuhan mengenai "membaca" yang merupakan kegiatan komunikasi (liat tulisan saya sebelumnya), dalam tulisan ini akan dibahas  bagaimana tujuan berbuat kebaikan dengan sesama dan lebih dalamnya lagi adalah penciptaan sistem sosial yang tidak lepas dari aspek komunikasi. Dan ini juga yang dalam jumlah ayat yang lebih dari 100 ayat berbicara mengenai komunikasi khususnya masalah empati dan kasih-sayang antara manusia. Satu ayat telah dijelaskan di atas.

Masalah empati dalam komunikasi, seperti halnya dalam tulisan sebelumnya, mengenai komunikasi asertif telah dijelaskan memegang peranan penting dalam kemampuan berkomunikasi. Bukan hanya sekedar mencapai tujuan pesan itu secar clear dapat diterima oleh si penerima pesan, namun juga dampaknya tidak menjadikan si penerima pesan merasa dilecehkan, direndahkan, tersakiti atau terhina. Persoalan cara menyampaikan pesan, seperti ini lah, dalam satu ayat Allah mewanti-wanti kepada kita untuk berbuat kebaikan secara asertif.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir . “
(Al Baqarah:264)

Popular posts from this blog

Risalah Kebohongan: BAB II — KECELAKAAN BESAR BAGI PARA PEMBOHONG

Attitude, Aptitude dan Altitude

Al Fatihah dan AlFath: Membuka Kemenangan