Muslim Belum Tentu Non Kafir

Ketika secara bahasa, "Islam" berarti selamat atau damai.
Maka, adalah hal yang berdasar ketika kita memberikan pengertian muslim untuk setiap orang yang menjamin keselamatan dan/atau cenderung dalam upaya-upaya menciptakan perdamaian. Islam pun secara bahasa berarti penyerahan diri/ketundukan, dan seorang muslim pun adalah mereka yang menyerahkan diri/tunduk kepada aturan Ilahi.

Ketika definisi ini diterapkan dalam keseharian maka sungguh indah ketika aplikasi ketundukan adalah menjamin keselamatan orang lain, memperjuangkan perdamaian antar sesama dan secara umum adalah berbuat kebaikan. Maka siapapun yang berlaku seperti itu adalah layak dipanggil muslim.

Menarik kisah dalam Al-Qur'an ketika orang-orang Arab Badui menyampaikan kepada Rasulullah bahwa mereka telah beriman. Maka Allah menyuruh Rasulullah untuk mengatakan: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu." (Lihat QS 49: 14)

Dalam kisah di atas, Ketundukan (Islam) bisa terjadi (muncul) lebih dahulu daripada Iman. Dengan kata lain, seorang Muslim belum tentu beriman. Iman tidak hanya cukup dikatakan. Dalam beberapa ayat dalam Qur'an Iman selalau menuntut tindak lanjut berupa amal shalih (berbuat serangkaian kebaikan/kebajikan). Hal ini ditegaskan ketika kata Iman ini sering kali diikuti dengan kata amal shalih. Al-hasil orang yang berkata atau mengaku beriman bisa jadi belum beriman, ketika belum dibuktikan dalam tindakan. Ini pula, kelanjutan QS 49:14 di atas menegaskan Iman yang sebenar-benarnya.

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Qs.49: 15)

Merekalah orang-orang yang benar (Shodiqun), sebenar-benarnya keimanan.
Dan sebenar-benarnya keimanan (Shodiqun) ini ditegaskan ulang dalam QS 2:177. Gelar "Shodiqun" adalah bagi mereka yang menjalankan "paket kebajikan yang sebenarnya", yaitu gabungan ketundukan dan keimanan yang diaplikasikan dalam serangkaian perbuatan.

"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang SHODIQUUN (dalam imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (QS 2:177)

Nah, terkait polemik Muslim vs Kafir, hemat saya adalah bahwa setelah kesalahan pertama dalam memberikan lawan kata muslim dengan kata "kafir" (seharusnya kafir adalah lawan kata dari Mumin), disusul dengan pengertian bahwa orang muslim sudah pasti beriman (non kafir).

Tiga ayat di atas (Al Hujurat 14-15 dan Al Baqarah 177)  justru dapat memberikan penegasan kepada kita bahwa seorang muslim belum tentu beriman alias belum tentu tidak kafir (non-kafir).

Menarik juga untuk dicermati, ayat 14 dalam Surat 49 di atas (yang menjelaskan Muslim belum tentu Mumin) diawali dengan ayat yang berkaitan dengan hubungan kemanusiaan dan hubungan sosial dalam keseharian bahwa kita tidak boleh saling merendahkan, saling menggelari satu sama lain dengan sebutan yang tidak baik (QS 49:11) dan saling berprasangka serta bergunjing (49:12), justru sebaliknya kita harus saling ta'aruf (49-13).

Semoga, kita lebih bijak lagi dalam berinteraksi sosial, wa bil khusus dalam suasana pilpres saat ini.

Popular posts from this blog

Risalah Kebohongan: BAB II — KECELAKAAN BESAR BAGI PARA PEMBOHONG

Attitude, Aptitude dan Altitude

Al Fatihah dan AlFath: Membuka Kemenangan