Bangga Jadi generalist

Resi Manajemen Indonesia, Gde Prama, pernah menulis dalam sebuah artikelnya, bahwa semakin tinggi ilmu seseorang maka label idiot telah melekat padanya. Gde Prama menuliskan hal itu terkait denga tema tulisan mengenai pengotak-ngotakan ilmu.

Bagaimana tidak, satu contoh di bidang kedokteran, saat ini telah bercabang menjadi banyak kotak keilmuan. Mulai dari kedokteran itu sendiri, farmasi, keperawatan, gizi, radiologi, dan masih banyak bingkai lainnya. Tidak berhenti di sini, bidang kedokteran, selain terjadi pengelompokan antara kedokteran umum dan spesialisasi, di spesialisasi ini terus mengerucut sampai ke ranah atomis. Sebut saja, dulu, untuk para dokter yang rajin “ngoprek” bagian dalam tubuh manusia cukup ngambil spesialisasi internist saja. Namun sekarang, terspsesilisasi lagi menjadi dokter yang ahli di saluran pencernaan, paru-paru, jantung, limfa dan ginjal termasuk ginekologi. Nah, berlanjut terus, dari spesiliasai jantung, saat ini sudah terjadi pengkhususan kajian. Ada yang menitik beratkan dalam bedah jantung bagian serambi ada juga yang hanya jago di bagian bilik. Jadi kalau mau berobat jantung, cari tahu dulu apakah dia jago di 'sayap' kiri atau 'sayap' kanan? Jadi benar kata ‘Ki’ Gde Prama, ketika orang makin tinggi spesilaisasi keilmuan maka dia akan idiot di bagian lain. (Embung uing jadi professor…)

Tadinya saya bingung akan diri sendiri. Mau kemana arah kepakaran saya? Dari studi mengenai obat (bukan tukang obat), terjun ke dunia perbankan. Bank limbung, nganggur, gabung di aktivitas LSM, terus nyalurin hobby ’buang ilmu’ di pendidikan tinggi dan malang melintang di dunia konsultan, terkahir menggeluti HRM dan GCG. Sebelumnya pernah duduk lagi menghadapi ’bualan’ dosen dengan tema-tema kebijakan publik dan politik, Adapun saat ini saya berurusan dengan dunia CSR dan filantropi, satu profesi yang menurut kolega saya, Ki Atmo, adalah profesi BERAMAL DENGAN BIAYA PERUSAHAAN.

Ketika saya dianggap serba bisa (sebenarnya maksa-keun) mengerjakan beberapa proyek berlainan ’spesies’, orang banyak nanya, jadi apa sebenarnya kepakaran saya? Saya hanya bisa tersenyum. Dan kawan saya, nyeletuk, kepakaran si Ihsan adalah tukang bikin TOR dan proposal. Lagi-lagi saya berespon dengan senyuman. Ada benarnya juga, teman saya itu. Saking banyaknya TOR dan proposal yang telah dimunculkan yang nota bene berlainan ’spesies’ tadi, saya sampai berprinsip bahwa TOR dan proposal proyek adalah ruh dari proyek itu sendiri. Dan dari itu pula saya selalu menikmati ketika menyusun TOR dan proposal, mulai dari mengumpulkan informasi, menuliskan, meanganalisis, dan mempresentasikannya.

Dalam mengerjakan TOR atau proposal, secara tidak sadar saya telah mengerjakan setidaknya berkelana ke berbagai profesi. Mulai dari profesi dokter, marketing, project analist, HRM, finance, manajer, teacher, auditor bahkan sempat ”berlaku” sebagai tukang pungut dan pengumpul sampah, pengrajin batik, keramik, dan tukang sapu pabrik. Tidak berhenti di sana, profesi sebagai politikus, pejabat yang (kurang) terhormat bahkan koruptor sekalipun pernah dijelajahi.

Akhir-akhir ini, sekali-sekali saya selalu tersenyum manis (anggap sebagai in can station, kata Tung Desem Waringin mah), ketika satu lagi profesi baru saya lakukan, sebagai penulis naskah pidato dan menjadi penjawab wawancara tertulis mulai untuk para BOS di lingkungan saya beraktivitas. Satu profesi lagi saya jalani, sebagai CEO tentunya. Wuaaadddukkkk! Ha..ha...

Jakarta, 21 januari 09

Popular posts from this blog

Risalah Kebohongan: BAB II — KECELAKAAN BESAR BAGI PARA PEMBOHONG

Attitude, Aptitude dan Altitude

Al Fatihah dan AlFath: Membuka Kemenangan