Jangan Pernah Menyepelekan

Oleh: Setiadi Ihsan
Kejadiannya sudah cukup lama sekitar 6 tahun lalu. Tapi, Insyaa Allah nilai dari cerita ini masih berlaku untuk saat ini dan ke depan.

Walaupun lingkungan pesantren bukan hal yang asing, namun untuk menyengaja silaturahmi ke Pesantren, khususnya Pimpinan Pondok Pesantren memang baru pertama kali. Saat itu, seorang kawan mengajak saya untuk menemui seorang ulama di salah satu pelosok di daerah Garut. "Urang silaturahmi!" katanya. bagi, kawan saya yang berprofesi dagang ini bersilaturahmi kepada pimpinan pondok pesantrean, telah menjadi kebiasaan. "Itung-itung cari ilmu dengan mendengarkan cerita tentang hikmah dalam menjalani hidup", katanya. Waktu itu, saya masih ingat, baru melepaskan pekerjaan saya sebagai banker di salah satu Bank Swasta. Padahal kondisi tahun 2002, statistik berbicara lain mengenai pengangguran, begitu banyak penggila pekerjaan melempar surat lamaran untuk menyambung hidup. Pada bulan ke-4 setelah diterima di Bank Swasta tersebut, sebelumnya saya alumnus PHK akibat kebijakan merger Bank-bank yang sakit, saya mengajukan pengunduran diri. Alasannya sedikit berbau arogan, tidak ada lagi tantangan. Hmhmmm...

Genaplah saya jadi penganggur. Dan pada saat itulah kawan saya hadir dan mengajak singgah di sebuah Pesantren. Kalau di antara pembaca ada yang menduga mampirnya saya di pesantren tersebut berkaitan dengan status baru saya, saat itu, ada benarnya juga. Terpikir kala itu, mungkin ada 'pencerahan' setelah saya bersilaturahmi dengan pimpinan pondok pesantren tersebut.

Pesantren Kresek, nama pesantren tersebut, terletak di Kecamatan Cibatu, arah Timur Laut dari Kota Garut. Sebuah Pesantren yang belum banyak dikenal dan diliput oleh media nasional. Yang saya ingat, hanya satu pemberintaan mistik yang pernah masuk di media, itupun media lokal. Tidak sukar untuk mencapainya. Kalau dari Kota Garut, sekali naik angkutan umum (angkot)ke arah Cibatu dan diteruskan dengan naik delman kita dapat singgah di pesantren tersebut. Ketika memasuki rumah Mama Saefulloh, pimpinan pondok pesantren Kresek tadi, hati saya masih menyisakan sejumlah pertanyaan. Apa yang harus diomongkan? Apakah nanti pembicaraannya bakal nyambung? "Mengertikah sang Mama dengan apa yang akan dibicarakan? dan pertanyaan lain yang meragukan 'keulamaan' beliau terutama sisi di luar ilmu Islam. Sombong! ya, itulah kesan saya waktu itu. Satu hal yang menguatkan saya tetap berdiri di depan rumah tersebut adalah rasa hormat saya kepada kawan yang telah mengajak saya ke Pesantren tersebut.

Setelah dipersilakan masuk kami duduk di salah satu kursi panjang yang menempati ruang tamu dengan ukuran cukup luas. Ruang tamu yang ditata sedemikian rupa dapat menampung tamu-tamu yang berkunjung kepada Mama Saefulloh. Tidak menunggu lama, Mama Saefulloh muncul dengan senyum 'sumringah' menyambut kehadiran kami. Saya sendiri hanya terdiam sambil 'ngabandungan' (memperhatikan) percakapan kawan saya dengan Mama saefulloh. Kalimat demi kalimat meluncur dari Mama Saefulloh yang terus terang mengagetkan saya waktu itu. Beliau bercerita panjang lebar tentang kemajuan yang telah dicapai anak-anaknya baik puteranya sebagai pekerja, pengusaha ataupun yang masih kuliah termasuk salah satunya sebagai calon dokter. Diamnya saya, seperti terbaca oleh fikiran Mama dan dengan ceritanya, meyakinkan saya bahwa yang sedang dihadapi bukanlah ulama 'kurung batok' dan hanya tahu kitab kuning. Apalagi, tanpa ditanya, beliau mengisahkan tentang perjuangan hidupnya khususnya yang berkaitan dengan 'mencari nafkah'. Duh, untuk kedua kalinya aku merasa menjadi objek pembicaraan. Saya mencoba merubah sikap dengan menjuruskan pandangan kepada sang Mama demikian juga telinga dan sikap tubuh.

"Banyak orang merasa sudah bertawakal", katanya, "namun sesungguhnya belum". Seterusnya beliau memberikan penjelasan akan kalimat di atas. Bahwa bertawakal itu layaknya bersandar di kursi. Harusnya, ketika bersandar kita memberikan kepercayaan penuh kepada sandaran kursi untuk menahan semua bobot tubuh kita. Jangan sampai, kita bersandar tetapi salah satu tangan kita masih ikut menahan bobot tubuh kita. "Mending kalau tangan yang sebelah itu kuat, tapi kalau tidak, sudah terasa pegal, duduk juga jadi tidak nyaman," paparnya. Lagi-lagi saya terpana dengan kiasan yang beliau utarakan dalam memahami arti tawakal dan untuk kedua kalinya, sepertinya pepatah itu ditujukan pada diri saya. "Saya mengerti, Mama", hanya kalimat itu yang mampu keluar dari mulut saya.

"Kadang kita berprasangka jelek kepada Tuhan", lanjutnya. Kita menyatakan bertawakal padahal hati kita masih menyangsikan 'kebaikan' dan 'janji' Tuhan. "Apa betul Tuhan akan menolong kita? pertanyaan itu tidak layak terfikir dari orang yang benar-benar bertawakal!", sambungnya. Mengenai prasangka baik, sikap husnuzhon kepada Tuhan pun masih saya ingat kiasan yang beliau gambarkan. Beliau menceritakan mengenai 2 orang yang dipatuk ular. Yang satu dipatuk ular 'welang' yang biasa hidup di air dan rata-rata berbisa. Namun ketika gigitan itu terjadi, dengan penuh keyakinan dia menganggap bahwa ular itu hanyalah ular tanah yang tidak berbisa. "Ach... cuma ular sanca", sambil mengusap bekas luka gigitan ular 'welang' tadi. Apa yang terjadi? tidak sedikitpun dia merasa kesakitan. Tapi sebaliknya, kisah lain adalah orang yang digigit ular sanca dan karena gigitan tersebut dia meninggal dunia karena dia beranggapan bahwa yang menggigitnya adalah "oray welang" yang mematikan.

Sekali lagi, perkiraan saya jauh meleset dari yang dipikirkan sebelumnya. Sungguh hebat ulama 'bau lisung', ulama kampung yang jauh dari publikasi media ini, memaknai sebuah terminologi agama, Berprasangka baik kepada Tuhan. "Tuhan memang sebagaimana kita berprasangka kepadaNya," tandasnya. Ini pula, bagi saya, sekaligus menguatkan makna tawakal sebelumnya.

Benar-benar hari itu adalah lawatan intektual dan hikmah bagi saya. Cerita lain adalah mengenai resep supaya doa kita makbul, diterima oleh Tuhan. Bagi orang di tatar Pasundan dikenal istilah 'murwakanti', yaitu keserasian dalam bertutur, harmonisasi kata, seperti pantun dalam bahasa Melayu. Resep yang ditawarkan dari Mama Saefulloh ini supaya do'a kita maqbul, MATIH dalam bahasa sunda, katanya adalah pertama: kita harus berdo'a kepada Tuhan secara MATUH, yaitu konsisten, terus menerus tanpa rasa bosan dengan penuh pengharapan (roja'). Hendaknya kita berdo'a dengan penuh rasa rendah hati. Kedua, kita juga harus MUTIH, bukan berarti harus melakukan pantangan terhadap makanan selain nasi dan air putih, tetapi menjaga diri dengan selalu berbuat kebaikan. Ketiga, lanjutnya, adalah kita jangan sampai MOTAH, yaitu: bertindak tanpa aturan dengan mengahalalkan segala cara. "Percuam kita telah MATUH dalam berdo'a dan MUTIH dalam hidup ini kalau masih dibarengi dengan sikap dan tindakan yang MOTAH," tandasnya. Insyaa Alloh katanya dengan melakukan 3 hal tadi maka do'a kita akan MATIH alias makbul.

Saya juga berkesempatan menanyakan hal-hal yang baik bagi pekerjaan saya. Mengingat selain tidak ada tantangan juga saya merasa ragu kerja di perbankan yang terkenal dengan sistem riba'-nya. Menaggapi hal ini, hanya satu kalimat yang terucap dari Mulut Bijak ini,"Hanya satu hal yang halal di dunia ini. Yaitu titik air hujan yang masuk ke dalam mulut kita secara langsung tanpa melewati pantulan dari apapun. Baik itu genting, pohon atau apa saja". "Insya Alloh saya mengerti, Mama,"

Di pengujung pertemuan, selintas fikiran saya mengingat-ingat, di kantong celana atau baju mana tadi saya menyimpan amplop yang akan saya berikan kepada Mama sebagai tanda terima kasih. Hal yang biasa dilakukan kalau berkunjung ke pesantren. Ini pula yang saya sendiri sebenarnya tidak mengerti kenapa harus pake amplop segala. Hanya karena menyesuaikan dengan rencana kawan, saya juga prepare dengan amplop itu. Namun, sehubungan saya membawa dua amplop saya berusaha mengingat amplop mana yang berisi, jangan sampai tertukar. Dan apa yang terjadi? di sela-sela kalimat penutup, lagi-lagi ulama 'bau lisung' ini menyadarkan saya. "Hatur nuhun, hidep tos silaturahmi ka Mama. Niatkeun Ibadah ka mantenna tong dikotoran ku niat lain. Silaturahmi teh hiji hal anu luhung, tong dibengberatan ku hal-hal lain. Mama mah geus ngarasa gumbira maraneh nyambungkeun tali silaturahmi ieu." (artinya: terima kasih, kalian sudah bersilaturahmi. Niatkan silaturahmi ini sebagai ibdah. dan jangan samapai dibebani dengan hal-hal lain. Mama sudah cukup senang kalian datang untuk sialturahmi)

Ampun Gusti.....! ampuni hamba yang telah berlaku sombong dan suu'dzon ini...

Garut, Januari 2009

Popular posts from this blog

Risalah Kebohongan: BAB II — KECELAKAAN BESAR BAGI PARA PEMBOHONG

Attitude, Aptitude dan Altitude

Al Fatihah dan AlFath: Membuka Kemenangan