CSR Sebagian dari Iman?

Oleh Setiadi Ihsan

Masih ingat dengan kaidah “iman”? Pengertian iman merupakan pelajaran pertama ketika saya duduk di madrasah dan belajar mengenai ilmu tauhid (ushuluddin/theologi). Definisi ’iman', tasdiqul bil-qolbi, takriru bil lisan wal amalul bil arkan adalah pengertian yang saya dapat sebelum belajar detail mengenai aspek lainnya.
Diyakini dalam hati, diucapkan melalui lisan dan dilakukan oleh anggota badan adalah totalitas dari sebuah keimanana (aqidah) sesuai dengan kaidah di atas. Dengan kata lain bukan ber-iman namanya kalau masih terdapat bolong dalam satu dari tiga aspek keimanan tersebut. Orang mengaku beriman kepada Tuhan maka hatinya harus meyakini secara penuh. Tidak cukup itu saja, dalam agama Islam misalnya, diharuskan adanya prosesi pembacaan syahadat, salah satunya adalah pembacaan ikrar bahwa dia mengakui satu-satunya Tuhan yang harus disembah, yaitu Allah. Proses selanjutnya adalah penerapan atas kesaksian atas apa yang telah diucapkan. Ia yang mengaku beriman harus dengan sungguh-sungguh percaya dan mengabdi hanya dan hanya kepada Allah serta menghindari dari berbagai perbuatan sirik (menyekutukan-Nya).

Kaidah iman di atas jadi terngiang-ngiang lagi dalam ingatan saya ketika browsing mengenai a holistic CSR setelah membaca tulisan dari Magdalena dan Herlina yang bertajuk Pengembangan Value-Based Management melalui CSR dan Premiumisation sebagai Strategi Menembus Persaingan Masa Depan dan dipresentasikan pada 2nd National Conference UKWMS tahun 2008. Dari hasil browsing, A holistic CSR model saya temukan sari tulisan (summary) dari Prof. Tarja Ketola, University of Vaasa, Finland dalam Journal of Business Ethics. Walaupun paper ini telah dipresentasikan oleh Ketola pada Eropean Academy of Management (EURAM) Confrence di Munich tahun 2005, namun Journal of Business Ethics baru menerbitkannya pada Volume 80, No. 3/ Juli, tahun 2008.

Dalam journal tersebut dikembangkan a holistic CSR model yang merupakan integrasi CSR dari aspek filosofis, psikologi dan perspektif manajemen. Model ini sebenarnya merupakan pengembangan dari konsep 3P (People-Planet-Profit) yang dikembangkan oleh Elkington. Konsep triple (3)P ini sering didefinisikan dengan adalah komitmen perusahaan secara berkelanjutan untuk menjalankan usahanya dengan cara menyeimbangkan berbagai macam kepentingan stakeholder dengan nilai ekonomi, sosial dan lingkungan. Dengan kata lain, CSR dapat memberikan pandangan mengenai perusahaan bahwa dalam menjalankan operasionalnya, selain mengejar keuntungan (profit), perusahaan perlu memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet).

Kalau kita analisis lebih lanjut tiga aspek dalam 3P dengan 3 aspek dalam stakeholders, kita dapat membuat padanan kata sebagai berikut: Profit ~ ekonomi, people ~ social dan planet ~ lingkungan. Untuk padanan profit yang berarti keuntungan (untuk perusahaan) yang dipadankan dengan ekonomi, jelas sekali bahwa aspek ekonomi disini bukan semata aspek yang sepadan dengan aspek sosial dan lingkungan yang melekat pada suatu komunitas. Tapi justru untuk kepentingan perusahaan yang di dalamnya ada unsur karyawan, manajemen dan shareholders.
Dengan demikian, prinsip 3P dapat mewakili pengertian CSR secara menyeluruh baik berupa tanggung jawab secara internal ataupun eksternal perusahaan.

Prinsip triple P ini akan berjalan sebagaimana mestinya kalau CSR dijalankan secara menyeluruh. A holistic CSR Model, demikian Ketola menamakannya. Model yang dikembangkan oleh Ketola (2008) ini merupakan integrasi dari 3 (tiga) bagian yaitu value – discource - action.

Paparan berikut adalah summary dari tulisan Magdalena dan Herlina mengenai A Holistic CSR Model. Seperti yang didefiniskan Robin & Coutler (2005:107) dalam Magdalena & Herlina (2008), value/nilai adalah sesuatu hal yang berarti dan diyakini oleh perusahaan. Dalam hal ini, jika perusahaan ingin menerapkan CSR, CEO atau pendiri perusahaan perlu memiliki shared organizational value yang diyakini sebagai bentuk filosofi (believe) perusahaan. Adapun bentuk filosofi tersebut adalah berupa virtue ethics.

Menurut Aristole (1988) dalam Ketola (2008), virtue merupakan sikap yang membuat orang menjadi lebih baik dan membantu seseorang melakukan pekerjaannya dengan baik. Berbagai nilai yang membentuk virtue ethics adalah rendah hati, keadilan, kedermawanan, kebaikan, tidak berlebihan, kesetiaan, fleksibel, dan dapat dipercaya. Nahapiet et al (2005) dalam Ketola (2008) menggunakan nilai virtue ini sebagai pedoman kerjasama manajemen yang excellence.

Selanjutnya, virtue ethics ini harus diubah dari pemikiran ke kata-kata dan dikomunikasikan ke seluruh stakeholder. Hal ini oleh Kelola (2008) disebut sebagai discourse/perkataan. Discourse merupakan bentuk negosiasi atau komunikasi mengenai budaya perusahaan secara psikologis. Dengan discourse, value dapat disosialisasikan dan perusahaan dapat melakukan pembelaan terhadap tuduhan dari sekelompok orang yang berbeda pandangan dengan perusahaan. Evaluasi discourse perusahaan dapat menggunakan analisis pembelaan.

Analisis pembelaan ini ada yang berbentuk concessions/konsesi yaitu perusahaan mengakui kesalahan yang dilakukan dan bertangggung atas kesalahan tersebut. Konsesi ini dapat berupa introjection yaitu cara ketidakberdayaan dari pembelaan rasa bersalah, maupun sublimation yaitu keinginan memperbaiki kesalahan yang dilakukan dan berorientasi kembali ke tantangan yang akan datang. Berdasarkan kedua pembelaan ini, sublimation merupakan konsesi yang lebih membangun dibandingkan dengan introjection. Jadi, perusahaan yang berkomitmen pada CSR adalah perusahaan mengakui kesalahan yang dilakukan dan bertanggung jawab untuk memperbaiki kesalahan tersebut serta berorientasi ke tantangan masa depan.

Masyarakat tidak akan mempercayai perkataan perusahaan jika tidak melakukan tindakan apapun, orang bilang NATO (No Action Talk Only). Dengan demikian, bagian terakhir dari pemahaman menyeluruh mengenai CSR adalah action/tindakan. Adapun tindakan nyata perusahaan yang berkomitmen pada CSR adalah dikategorikan pada jenis perusahaan ideal yaitu perusahaan yang memaksimalkan secara nyata tanggung jawab ekonomi, sosial dan lingkungan. Dengan kata lain, perusahaan ideal ini adalah perusahaan yang menghasilkan kegiataan atau tindakan yang memenuhi kriteria sosial sehingga dapat memuaskan harapan konsumen. Perusahaan yang menjadi pioneer dalam menerapkan CSR adalah Body Shop yaitu perusahaan kosmetik yang lebih menekankan pada green product (Ketola 2008).

Jika perusahaan telah memahami secara menyeluruh dan melakukan tindakan CSR dengan benar, berarti perusahaan telah melakukan pengelolaan brand image yang dapat menguntungkan dalam jangka panjang. Selain itu, Singh, Sanchez, & Bosque (2008) menjelaskan bahwa saat ini pengelolaan brand image merupakan aktivitas strategik yang utama dan menguntungkan perusahaan dalam jangka panjang Dengan kata lain, tindakan CSR yang dilakukan perusahaan berhubungan dengan aspek reputasi (Bronn & Vrioni 2001) yang mana Fremman (1984) & Fomburn (1996) dalam Bronn & Vrioni, 2001 menggambarkan reputasi sebagai kesuksesan perusahaan dalam memenuhi harapan stakeholder. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jika brand image perusahaan yang dipersepsikan konsumen adalah perusahaan yang berkomitmen pada CSR, maka hal ini dapat meningkatkan reputasi perusahaan dalam hal etika berbisnis sehingga dapat memuaskan kebutuhan dan harapan konsumen saat ini dan akhirnya menguntungkan perusahaan dalam jangka panjang.

Image adalah Pahala
Dalam value based management dibahas proses penciptaan nilai etis (etika manajerial) yang harus disosialisasikan kepada seluruh stakeholder perusahaan. Salah satu pilar etika manajerial yang ditekankan adalah dengan memahami secara menyeluruh mengenai konsep penerapan CSR dengan value-discourse-action.

Dengan kata lain, suatu pemikiran tidak akan berarti tanpa perkataan dan perkataan juga tidak akan dipercayai jika tidak ada tindakan. Adapun nilai yang dikembangkan adalah nilai virtue ethics yang terdiri dari: rendah hati, keadilan, kedermawanan, kebaikan, tidak berlebihan, kesetiaan, fleksibel, dan dapat dipercaya. Discourse diperlukan oleh perusahaan yang berkomitmen pada CSR dengan jenis pembelaan sublimation yaitu keinginan memperbaiki kesalahan yang dilakukan dan berorientasi kembali ke tantangan yang akan datang. Pada akhirnya menghasilkan tindakan nyata perusahaan yang berkomitmen pada CSR yang mana dikategorikan pada jenis perusahaan ideal yaitu perusahaan yang memaksimalkan tanggung jawab secara ekonomi, sosial dan lingkungan secara nyata.

Nah, soal penciptaan image seperti telah diterangkan di atas hanyalah sebuah dampak dari model value-discourse-action dari Ketola. Dan kalau boleh saya menggunakan kias (analogi) maka image building yang didapat oleh perusahaan yang mengerjakan CSR secara holistic layaknya orang beriman dalam kaidah iman sebenarnya telah dijanjikan surga sebagai pahala. Jadi dalam implementasi CSR image building termasuk Publuis Relation janganlah menjadi tujuan utama.

Referensi:
 Ketola T., A Holistic CSR, Journal of Business Ethics, 2008
 Magdalena, Herlina, 2nd National Conference UKWMS, Pengembangan Value-Based Management melalui CSR dan Premiumisation sebagai Strategi Menembus Persaingan Masa Depan, 2008

Popular posts from this blog

Risalah Kebohongan: BAB II — KECELAKAAN BESAR BAGI PARA PEMBOHONG

Attitude, Aptitude dan Altitude

Al Fatihah dan AlFath: Membuka Kemenangan