Perang Status dan Ketelanjangan

Satu fakta tak terbantahkan, berdasar pada pilpres 2014, kekuatan dari pemenang Pilpres sekaligus kelemahan lawannya adalah, dia punya nama JOKOWI. Jokowi dengan segala pernak-pernik menyertai menjadi bahan liputan/artikel/tulisan/pembicaraan yang sangat menarik.
Lima Tahun sebelum tahun 2014, bisa jadi Jokowi bukanlah nama, layaknya merk, nasional. Orang Solo lah yang pertama mengenal Jokowi. Dan tidak butuh waktu lama, layaknya seorang bintang daerah mengadu nasib di ibu kota dan berhasil menjadi idola. Demikian juga menjadi idola ibukota tidak perlu berlama-lama sampai redup dimakan waktu, melesat statusnya menjadi merk nasional,

Ok, cerita tentang merk ini tidak cukup satu oretan di sini. Saya justru tertarik mencermati gaduhnya ulangan pemilihan idola nasional, saat ini.

Bagi sebagain orang bisa jadi berasa  pusing/jengah/muak dg status-status politics yg kesannya saling ledek, saling banting dan jatuhkan.
Satu fakta medsos, misalnya  FB, adalah bukan punya SIA (english: you, Arabic: Anta, Habib: Ente) apalagi punya AING (Arabic: Ana, Rhoma: Ani). Semua bebas bermaen hanya dengan cukup lulus log in. Suka-tidak suka, taman yang kita masuki, terlanjur banyak orang bermain di sana.  Mainan utama adalah berstatus. Uniknya mainan ini tidak harus menunggu giliran, antri, untuk memainkannya. Semua pengunjung taman sudah diberikan mainan utama, berstatus. Tinggal dimainkan.
Cukup puas dengan mainan sendiri? masih lirik-lirik mainan orang lain, mau mengganggu mainan orang lain, atau mengabaikannya? adalah pilihan.
Intinya semua bebas bermain termasuk keluar taman.

Dalam memainkan status sebagai mainan utama, orang bisa saja memamerkan dirinya, memuji dirinya, show ini show itu, menghina orang lain, mengejeknya dan menjatuhkannya tanpa tedeng aling-aling, tanpa ragu, tanpa memperhatikan apa yang namanya empati. Mainan utama adalah pelampiasan ego. Di sanalah ego menemukan surganya. Tak ada lagi aurat satu dan lainnya, tak adalah pemberlakukan status muhrim atau tidaknya.
Dan ketika ini terjadi, kebebasan, bagi yang tidak bisa menjiwainya muncullah hal yang memuakkan.

Benar lah bahwa:
Sesuatu yang terlalu telanjang, pada akhirnya memuakkan. Orang perlu menyembunyikan sesuatu. Dan sesuatu itu sudut hatinya yang paling halus. Dan kukira itulah culture, jiwa manusia sepanjang zaman.
-Motinggo Busye, Perempuan Paris-

Popular posts from this blog

Risalah Kebohongan: BAB II — KECELAKAAN BESAR BAGI PARA PEMBOHONG

Attitude, Aptitude dan Altitude

Al Fatihah dan AlFath: Membuka Kemenangan