Climate Change dan Global Warming

Konferensi Para Pihak UNFCCC di Bali, 3-14 Desember 2007 yang lalu, menjadi harapan bagi penduduk bumi untuk secara bersama-sama merumuskan strategi menghadapi perubahan iklim yang dampaknya sudah dirasakan oleh penduduk bumi. Lagi-lagi secara signifikan dampak ini dirasakan oleh semua sektor yang didominasi oleh penduduk miskin seperti petani ataupun nelayan. Hasilnyapun telah kita simak bersama, ketidakpuasan, khusunya mengenai target pengurangan emisi, muncul dari berbagai pihak yang lagi-lagi hal ini mengkonfirmasi kentalnya politik dalam isu ini. Dua negara penyumbang emisi karbon terbesar di dunia, Amerika dan Cina tidak berpartispasi dalam penandantanganan hasil konfrensi ini.

Terus terang, kesadaran akan adanya perubahan iklim baru tersadarkan baru-baru ini, tepatnya ketika kawan-kawan di Ikatan Alumni (IA) ITB Chapter Jakarta menyelenggarkan seminar pada bulan November tahun lalu, bertajuk: Strategi Adaptasi Perubahan Iklim, Mengurangi Potensi Konflik dan Bencana di Indonesia. Dari seminar ini, saya mengetahu bahwa untuk kalangan yang berlatar belakang disiplin ilmu terkait dengan topik ini bukanlah merupakan sesuatu yang mengagetkan. Perubahan, seperti yang terjadi pada semua sektor kehidupan, di alam pun telah terjadi dan akan terus terjadi. Ilmu pengetahuan telah sampai kepada prediksi-prediksi perubahan alam termasuk pemanasan global (global warming) dam perubahan iklim (climate change).

Warisan peradabanlah yang telah mengantarkan kita kepada spesialisasi dan kefokusan dalam menjalani kehidupan ini. Disiplin ilmu, pekerjaan dan profesi kita telah menjadikan kita ke dalam suatu kotak berbatas bahkan sangkar kuat yang menghindarkan kita dari luar zona tempat kita ‘bermain’. Gde Prama telah memberikan frase yang menggugah untuk fenomena ini. Ia menyebutnya sebagai professor idiot. Semakin ahli kita dalam suatu bidang maka kita akan merasa bodoh pada bidang lain.

Terlepas dari hasil Konfrensi Bali, sebagai anak bangsa tentunya kita cukup manut dengan apa yang telah disepakati oleh para pimpinan bangsa termasuk delegasi Indonesia. Hal yang tidak kalah penting adalah bagaimana persoalan ini tetap menjadi perhatian kita termasuk pembaca MMB yang sebagian besar bekerja di korporasi untuk menaruh perhatian terhadap isu lingkungan ini. Atas pertimbangan ini pula Tim Redaksi MMB menampilkan topik lingkungan di Fokus Mitra edisi 29.

Perubahan iklim global disebabkan antara lain oleh peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) akibat berbagai aktivitas yang mendorong peningkatan suhu bumi. Mengingat iklim adalah unsur utama dalam sistem metabolisme dan fisiologi tanaman, maka perubahan iklim global akan berdampak buruk terhadap keberlanjutan pembangunan pertanian. Pemanasan global ini juga akan memicu perubahan iklim yang ditandai naiknya suhu udara yang berdampak terhadap unsur iklim lain, terutama kelembaban dan dinamika atmosfer, sistem hidrologi bumi yang berdampak pada makin panjangnya musim kemarau dan singkatnya musim hujan dengan intensitas atau curah hujan yang tinggi, meningkatnya intensitas kejadian iklim ekstrim(anomali iklim), seperti: El-Nino dan La-Nina dan naiknya permukaan air laut akibat pencairan gunung es di kutub utara.

Hal-hal yang disebut di atas akan memicu kekeringan pada musim kemarau dan banjir pada musim hujan. Keadaan ini diperparah oleh kerusakan hutan dan daerah serapan air yang sebagaian telah berganti dengan pemukiman. Pada akhirnya dampak buruk dari perubahan iklim ini akan memicu terjadinya peningkatan angka kemiskinan khususnya di negara berkembang.
Hal lain yang sangat penting dan telah diprediksi oleh para pakar adalah bahwa perubahan iklim global mempunyai pengaruh pada keanekaragaman hayati. Komponen keanekaragaman hayati seperti: Perubahan dalam kisaran penyebaran, meningkatnya tingkat kelangkaan, perubahan waktu reproduksi, dan perubahan dalam lamanya suatu musim tanam spesies akan terpengaruh dan berakhir dengan kepunahan sebagian spesies di bumi.


Strategi dalam Menyikapi Global Warming dan Climate Change

Ada dua strategi utama dalam mensiasati pemanasan global dan perubahan iklim. Dua strategi tersebut ádalah: (a) strategi strategi adaptasi dan (b) strategi mitigasi. Kedua startegi ini ditujukan untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim yang secara ekstrim kalau tidak dilakukan akan terasa dalam kurun waktu 20 – 50 tahun ke depan. Para pakar telah memprediksi bahwa setiap kenaikan 0,50 C suhu bumi akan diikuti dengan kenaikan permukaan air laut setinggi 1 meter. Dengan demikian untuk kasus di Indonesia diperkirakan dalam rentang tahun di atas akan terdapat lebih dari seribu pulau kecil yang tenggelam. Demikian juga berkurangnya garis pantai di setiap daratan Indonesia. Sebagai contoh, diperkirakan pesisir patntai Jakarta akan bergeser sampai dengan Harmoni-Kota. Bisa dibayangkan bagaimana dampaknya kepada para penduduk di pesisir pantai di Indonesia yang rata-rata masih berada di bawah garis kemiskinan. Adaptasi dan mitigasi ini juga yang menjadi topik di dalam Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC). Dalam kesempatan ini redaksi tidak mengupas kelemahan dan kelebihan dua startegi tersebut. Redaksi hanya menampilkan dasar dan konsekuensi dari startegi tersebut.

Strategi mitigasi
Strategi mitigasi yang meliputi pencarian cara untuk menahan laju emisi gas-gas rumah kaca adalah isu panas dalam sidang-sidang tahunan Konferensi Para Pihak (COP) UNFCCC.

Strategi ini didasarkan kepada pemikiran harus adanya serangkaian aksi untuk mengurangi sebab-sebab pemicu perubahan iklim, seperti pemanasan global yang diakibatkan oleh efek rumah kaca. Dengan demikian strategi yang dilakukan adalah aksi yang mengarah kepada tindakan preventif penduduk bumi dalam mengurangi kerusakan lingkungan, pengurangan emisi gas karbon dan tindakan lainnya yang sejenis.

Untuk kasus Indonesia, walaupun tidak sepenuhnya benar, sebagai emitor terbesar oksigen (O2) dari hutan dan areal pertaniannya, Indonesia juga dituding sebagai negara terbesar ketiga dalam mengemisi GRK, terutama dari sistem pertanian lahan sawah dan rawa, kebakaran hutan/lahan, emisi dari lahan gambut. Oleh sebab itu, Indonesia dituntut (sesuai dengan Kiyoto Protocol) untuk senantiasa berupaya mengurangi (mitigasi) GRK, antara lain melalui; (a) CDM (Clean Development Mechanism) (b) perdagangan karbon (carbon trading) melalui pengembangan teknologi budidaya yang mampu menekan emisi GRK, dan (c) penerapan teknologi budidaya seperti penanaman varietas dan pengelolaan lahan dan air dengan tingkat emisi GRK yang lebih rendah.

Upaya pengurangan emisi karbon, misal karena kebakaran hutan, dan diberlakukannya penerapan teknologi budidaya seperti penanaman varietas dan pengelolaan lahan dan air dengan tingkat emisi GRK yang lebih rendah, tidak saja bermanfaat dalam mengerem efek pemasan global tetapi upaya mitigasi ini juga bermanfaat dalam menjaga keseimbangan lingkungan yang pada akhirnya dapat melindungi keanekaragaman hayati bumi.


Strategi adaptasi
Berbeda dengan dengan strategi mitigasi, strategi ini didasarkan kepada upaya adaptif dengan situasi yang terjadi akibat dampak perubahan iklim terhadap sumberdaya infrastruktur dan lain-lain. Strategi ini juga didasarkan kepada pemahaman bahwa perubahan iklim tidak bisa dicegah, namun pemikiran dan energi kita seharusnya dialihkan kepada penanggulangan dampak buruk dari perubahan iklim itu sendiri. Strategi ini sering diartikan sebagai pemihakan kepada kaum miskin yang disinyalir rentan terhadap sebuah perubahan dengan keterbatasan mereka terhadap akses informasi.

Strategi ini telah merumuskan serangkaian aksi yang mengarah kepada penyesuaian terhadap perubahan iklim baik menyangkut sumberdaya infrastruktur ataupun sumber daya manusia. Strategi ini juga berisikan cara-cara mengatasi dampak perubahan iklim dengan melakukan langkah-langkah penyesuaian yang tepat dan bertindak untuk mengurangi berbagai efek negatifnya atau memanfaatkan efek-efek positifnya. Untuk sektor pertanian, misalnya, strategi dirumuskan melalui reinventarisasi dan redelineasi potensi dan karakterisasi sumberdaya lahan dan air; penyesuaian dan pengembangan infrastruktur pertanian, terutama irigasi sesuai dengan perubahan sistem hidrologi dan potensi sumberdaya air; penyesuaian sistem usahatani dan agribisnis, terutama pola tanam, jenis tanaman dan varietas, dan sistem pengolahan tanah.
Proses adaptasi seharusnya merupakan pembaruan yang bermakna di dalam modalitas pengaturan struktur dan mekanisme di seluruh sektor kehidupan, bukan hanya pertanian. Di dalam kerangka kerja kebijakan industrial, misalnya, ekonomi ekologis dan ecological footprint harus diterapkan sampai ke tingkat pemerintah daerah.
Common but differentiated responsibility harus dimaknai sebagai keadilan dengan sanksi hukum yang tegas pada industri perusak lingkungan sampai di tingkat daerah, dan mengangkat penghidupan di sektor pertanian, pertama-tama dengan menghapuskan akar kemiskinan petani.
Selain itu dibutuhkan serangkaian kebijakan yang mendorong perubahan gaya hidup (kelompok mapan) serta program-program yang mendukung kapabilitas, kesetaraan dan keadilan serta keberlanjutan sosial bagi petani gurem, termasuk di dalamnya mengamankan hak atas sumber daya, khususnya tanah, sumber-sumber keuangan dan pelayanan kesehatan. Semuanya berada dalam perspektif hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Bencana ekologis (dan ekonomi) terus mendorong keluarga petani miskin berbondong-bondong keluar dari desa. Sebagian menjadi buruh migran dan terjebak dalam jaringan perdagangan orang. Lainnya mengungsi ke kota. Mereka mengaisi sisa-sisa rezeki, melakukan pekerjaan yang mendukung produktivitas kota, tetapi diperlakukan seperti sampah atas nama "ketertiban umum", dan menjadi sasaran penertiban atas nama keterbatasan daya dukung kota.
Disamping dua strategi yang dijelaskan di atas sebenarnya masih ada satu startegi lain yang berupaya untuk memadukan kedua startegi di atas. Strategi yang dimaksud adalah Strategi antisipasi yang ditujukan untuk menyiapkan skajian untuk kedua strategi baik mitigasi ataupun adaptasi. Kajian ini meliputi berbagai aspek yang terkait dengan penyebab dan dampak dari perubahan iklim, sperti: aspek sumberdaya alam, klimatologis, hidrologis, geografis, infrastruktur, teknologi, sosial-ekonomi dan budaya.
Pengenalan akan strategi di atas mudah-mudahan dapat diturunkan dalam bentuk program dan rencana aksi yang secara ketat dapat dilaksanakan mulai dari diri sendiri dengan melakukan penyesuaian gaya hidup, misalnya, sampai dengan program yang secara institusional dikawal oleh suatu lembaga yang kompeten. Tanpa harus menunggu peluit dari pihak manapun atau menunggu dana kompensasi, setiap persoalan yang merupakan penyebab dan dampak dari pemansan global dan perubahan iklim ini dapat kita mulai dari lingkungan kita sendiri. Dengan demikian seperti program tanam dan rawat sejuta pohon yang diusung oleh Bakrie Grup, misalnya, adalah suatu bentuk kesadaran dan kepedulian akan permasalahan ini. Semoga sukses!

(Setiadi Ihsan)
Rujukan: dari berbagai sumber

Popular posts from this blog

Risalah Kebohongan: BAB II — KECELAKAAN BESAR BAGI PARA PEMBOHONG

Attitude, Aptitude dan Altitude

Al Fatihah dan AlFath: Membuka Kemenangan