Kesadaran dalam Latah?

“…Dengan mengambil tiga contoh kejadian di atas, ada beberapa catatan yang dapat dijadikan kesimpulan. Pertama, bangsa Indonesia adalah bangsa yang latah, akan tergerak jika sudah mendekati bahkan menghadapi permasalahan yang timbul..”

Potongan paragraf di atas, adalah saya ambil dari tulisan M. Chasby Sidqi dari situs http://ppsdms.org/. Kesimpulannya diambil setelah dia menguraikan tiga fakta mengenai tak kunjung selesainya masalah banjir, berulangnya hiruk pikuk dan permasalahan dalam pesta demokrasi dan kebuntuan dalam mencari solusi ujian nasional bagi sistem pendidikan nasional. Secara tersirat M. Chasby Sidqi mendefinisikan latah sebagai orang yang menyenangi dengan hal bersifat gonjang-ganjing. “Setiap timbul satu peristiwa atau masalah akan menjadi pembicaraan hangat di masyarakat. Tidak jarang dalam satu pekan isu atau topik tentang masalah atau persitiwa yang terjadi akan diperdebatkan secara terus menerus, tanpa ada solusi yang berarti”, paparnya.
Menarik bagi saya adalah mengenai pengertian (terminologi) bangsa yang latah.

Ketika kita ikut nimbrung ke dalam suatu tema atau isu yang sedang in, apakah itu termasuk suatu syndrome latah? Ketika kita beramai-ramai gandrung terhadap suatu mode trend, katakanlah cara berapakaian, apakah ini juga suatu fenomena latah? Ketika semua media secara seragam meliput kedatangan bintang Taiwan f4 atau meteor garden, apakah ini merupakan gejala latah? Apakah ketika kita mengusung dan meperjuangkan suatu ide/teori baru, ini juga termasuk kepada tradisi latah? Ketika trend, life style dan tradisi itu dilakukan secara kelompok masyarakat bahkan suatu bangsa, lantas kita menamakan bahwa bangsa itu adalah bangsa yang latah. Apakah memang latah mengandung makna feyoratif sehingga kita merasa berkurang rasa kebanggaan terhadap nation ini?

Saat ini, kita tengah disuguhi dengan ‘kue’ globalisasi. Kue tersebut telah menarik diri kita dan rasanya sulit bagi kita untuk tidak mencicipinya. Teknologi informasi, sebagai salah satu perkakas adonan globalisasi telah menggiring kita untuk senantiasa mendekatkan diri dengan kue globalisasi ini. Apakah kue globalisasi juga telah menjadi satu dari sekian penyebab terjadinya syndrome ‘latah’ di masyarakat?

Sampai juga rasa penasaran saya untuk mencari tahu mengenai istilah bangsa yang latah. Lagi-lagi perkakas teknologi informasi, internet, saya jadikan tools untuk menjawab rasa pensaran tadi. Akhirnya ‘Bangsa yang latah’ menjadi ‘keyword’ yang saya tuliskan dalam mesin pencari, google. Hanya dalam waktu 0,24 detik, searching engine, pada hari itu telah berhasil mengumpulkan tulisan atau tema yang berisikan frase yang dicari. Terdapat 22,800 hasil penelusuran yang berhubungan dengan keyword ‘Bangsa yang latah’. Memang tidak semua artikel atau tulisan semua secara khusus dan mendalam mengupas pengertian bangsa yang latah, namun dari hasil penelusuran tadi, ternyata kebanyakan tema tulisan telah mengarahkan kepada bangsa ini, Indonesia. Sekilas memang logis, karena keyword yang digunakan adalah bahasa Indonesia, namun kita juga mesti ingat cerita ‘kue globalisasi’. Searching engine google sudah pasti dapat mengakses data dari bangsa serumpun, negara jiran yang mirip kalau tidak dikatakan sama, menggunakan bahasa Indonesia, sebut saja Malaysia dan Brunei.

Jangan dulu minder, karena bangsa ini tidak sendirian. Negara jiran yang disebut di atas juga ternyata mempunyai sebutan bangsa yang latah, ya.. Bangsa Malaysia.
Akhirnya saya juga menemukan tulisan saudara kita dari Malysia yang sudah merasa gerah dengan kondisi yang menurutnya jatuh sebagai bangsa yang latah.

“…LATAH kini bukan lagi milik Mak Limah di Pasir Mas atau milik Mak Minah di Batu Gajah. Latah juga bukan lagi milik eksklusif orang Melayu. Latah juga kini bukan lagi milik marhaen melata. Latah kini telah menjadi milik seluruh rakyat Malaysia.
Latah telah menjadi sindrom. Latah adalah virus yang mudah merebak dan berjangkit. Penyakit latah kini telah menjangkiti mereka yang mempunyai status dan nama yang berjela- jela. Latah bagaikan tsunami yang telah meranapkan nama baik, kredibiliti dan kedudukan seseorang...”

Bangsa Indonesia dan Malaysia yang merupakan rumpun Melayu tidak sendirian, penyakit latah juga ditemukan pada bangsa Eskimo sehingga kedua bangsa ini dikategorikan sebagai bangsa yang mempunyai culture-specific syndrome, yaitu kombinasi gejala somatik dan psikiatrik yang dipertimbangkan sebagai penyakit yang dikenali hanya untuk kelompok masyarakat atau budaya tertentu. Pernah ada penelitian yang mencoba menyimpulkan kenapa penyakit latah terjadi pada bangsa Melayu? Penelitian ini berhasil menghubungkan ketahanan bangsa Melayu terhadap penyakit ABCD (Acute Blood Cell Decay), yaitu terdekomposisinya sel darah secara akut. ABCD sendiri ditandai dengan sel darah putih dan sel darah merah yang mengalami dekomposisi fisikal. Pasien akan meninggal setelah beberapa jam terserang. Penyakit ini pernah menyerang semua kawasan di dunia, Eropa, Afrika, Amerika dan Australia kecuali Bangsa Melayu (Asia Tenggara). Namun kesimpulan ini terpaksa harus ditarik lagi ketika peneliti lain, berkebangsaan Kanada, menemukan sejumlah orang Eskimo diketahui menderita penyakit ABCD.

Jadi apa sebenarnya latah itu? Lagi-lagi dengan bantuan racikan globalisasi, teknologi internet, saya temukan dalam Kamus Bahasa Indonesia (on-line). Menurut kamus tersebut, latah mempunyai empat pengertian, yaitu: Menderita sakit saraf dengan suka meniru-niru perbuatan atau ucapan orang lain; Berkelakuan seperti orang gila, misalnya; karena kehilangan orang yang dicintai; Meniru-niru sikap, perbuatan, atau kebiasaan orang atau bangsa lain; Mengeluarkan kata-kata yang tidak senonoh. Akan pengertian-pengertian di atas, kecuali pengertian ketiga, kita cukup familiar dengan contoh atau peristiwa dalam keseharian kita.
Sementara itu dalam kamus wikipedia, saya menemukan pengertian latah sebagai berikut:
Latah is a condition of hyperstartling found in southeast Asia that is commonly considered a culture-specific syndrome. It is also the name for those with the condition, which is found mainly in adult women. The afflicted have a severe reaction to being surprised in which they lose control of their behavior, mimic the speech and actions of those around them and obey any commands given them. Latahs are generally not considered responsible for their actions during these episodes.
Pengertian ini mendukung kepada adanya suatu komunitas termasuk bangsa yang berpenyakit latah, dalam hal ini Bangsa Melayu. Latah, selain telah dijelaskan sebagai culture-specific syndrome, latah sendiri telah diidentifikasi beberapa factor yang dapat menjadi sebab timbulnya latah. Setidaknya terdapat tiga teori yang menjelaskan penyebab timbulnya gangguan ini. Pertama, teori pemberontakan. Menurut teori ini latah disebabkan oleh adanya dorongan yang tidak terkendali untuk mengatakan atau melakukan sesuatu sebagai manifestasi pemberontakan terhadap hal-hal yang dilarang. Teori kedua adalah faktor kecemasan. Gejala latah muncul karena yang bersangkutan memiliki kecemasan terhadap sesuatu, tanpa ia sadari. Kecemasan ini bisa timbul akibat adanya tekanan dari lingkungan. Rata-rata, dalam kehidupan pengidap latah, selalu terdapat tokoh otoriter, entah pasangan hidup atau orang tua. Bisa jadi, latah merupakan jalan pemberontakannya terhadap dominan sesuatu yang sangat menekan. Dan teori ketiga, yaitu teori pengondisian. Inilah yang sering kita kenal bahwa latah dapat menular. Seseorang mengidap latah karena dikondisikan oleh lingkungannya, misalnya gara-gara latah, seseorang merasa diperhatikan dan diperhatikan oleh lingkungan. Dengan begitu, latah juga merupakan upaya mencari perhatian. Latah semacam ini disebut juga ”latah gaul”.
Sementara itu jenis latah, menurut Dr. Rinrin R. Khaltarina, Psi., M.Si, terbagi dalam empat jenis, yaitu ekolalia (mengulangi per-kataan orang lain), ekopraksia meniru gerakan orang lain), koprolalia (mengucapkan kata-kata yang dianggap tabu/kotor), automatic obedience (melaksanakan perintah secara spontan pada saat terkejut).

Ketika tindakan meniru menjadi domain latah, kita juga bisa menghubungkannya dengan suatu tahapan dalam perkembangan pada diri kita. Dalam disiplin ilmu psikologi sosial apakah itu mengenai topik psikologi perkembangan atau human behaviour dikenal tahapan meniru (imitasi) dan model peran. Seorang anak pasti mengalami tahapan ini, yaitu meniru orang dewasa atau tokoh yang diidolakan. Dalam diri si anak dengan keterbatasan fikir, dianggap bahwa dengan meniru maka keberadaan dia akan lebih diakui oleh lingkungannya. Ketika imitasi menjadi motif dalam latah orang dewasa, apakah ini wajar?

Dari pengertian-pengertian mengenai latah di atas baik yang berbau ras ataupun gejala psikologis, dapat ditegaskan bahwa latah adalah suatu penyakit atau gangguan baik mental dan somatis. Gejala yang muncul menguatkan adanya suatu gangguan tadi, apakah tidak dapat mengontrol diri, dilakukan secara spontanitas, dan tanpa suatu kesadaran.
Nah, mengakhiri cerita mengenai latah ini, hanya sekedar mengingatkan ketika Anda condong terhadap sesuatu, apakah itu ide, kebiasaan, lifestyle, hobby atau apa saja yang berdampak kepada keinginan yang kuat untuk meniru dan berbuat seperti kebanyakan orang, lakukanlah dengan penuh kesadaran, terencana dan tentu adanya kontrol (diri) agar sebutan sebagai orang yang ’sakit’, ’terganggu secara mental’ atau ’masa kecil kurang bahagia’ tidak melekat kepada kita. eh... Anda... Latah, dech...!

(Setiadi Ihsan)

Popular posts from this blog

Risalah Kebohongan: BAB II — KECELAKAAN BESAR BAGI PARA PEMBOHONG

Attitude, Aptitude dan Altitude

Al Fatihah dan AlFath: Membuka Kemenangan