CSR: Kefahaman dan Keikhlasan

Oleh: Setiadi Ihsan

Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan, setidaknya dua tahun terakhir ini menjadi perhatian perusahaan dan masyarakat di Indonesia. Demikian juga dengan Pemerintah. Pada tahun 2007 lalu, melalui UU Nomor 40 Tahun 2007, pada Bab V Pasal 74, telah digariskan mengenai 'kewajiban' perusahaan untuk melaksanakan kegiatan CSR. Sebagai catatan, Undang-undang ini telah menuai berbagai kritik dan masukan terutama dari pihak korporasi.

Pembahasan mengenai CSR, sejauh penelaahan saya, sudah dilakukan secara dalam khususnya oleh para penggiat CSR dari kalangan LSM (masyarakat) ataupun akademisi. Namun sayangnya diskursus mengenai CSR ini belum 'menular' kepada perusahaan, yang nota bene sebagai pelaku utama dalam kegiatan CSR. Pernyataan ini, setidaknya didasarkan kepada prkatik-praktik aktivitas sosial sebagai wujud tanggung jawab sebuah perusahaan masih belum dilakukan sesuai dengan konsep CSR itu sendiri. Perusahaan masih tetap pragmatis dengan pola-pola lama dalam menghadapi 'kebutuhan' masyarakat.

Konsep CSR sendiri, seperti yang diurai oleh Hangga Surya Prayoga yang saya temukan dalam situsnya: http://donhangga.com/csr-sekilas-sejarah-dan-konsep/2007/11/28/, menurut saya sudah mewakili apa yang menjadi konsep, historis, dan kondisi CSR di Indonesia, pada khususnya.

Secara global, diskursus CSR ini telah mengarah kepada perlunya suatu standard internasional mengenai pelaksanaan CSR. Melalui serangkaian pertemuan di beberapa negara draft ISO 26000 sudah mulai dipublikasikan untuk dijalankan pada tahun ini. Implikasi dari penerapan ISO ini bukan ditujukan untuk pemenuhan perusahaan sehubungan dengan persyaratan transaksi bisnis semata, namun untuk menjamin pelaksanaan bisnis itu sendiri.
Dalam draft tersebut, implementasi CSR tidak saja berarah eksternal tetapi juga internal. Sebagai contoh, pelaksanaan CSR tidak hanya diukur dengan sejauh mana masyarakat telah merasakan 'dampak positif' dari hadirnya perusahaan tetapi juga dilakukan pengukuran terhadap aspek 'kepuasan' karyawan, seperti dari jaminan keselamatan, persamaan perlakuan dan sebagainya.

Tulisan ini dmaksudkan untuk mengetuk para penggiat CSR di perusahaan sehingga sudah saatnya mereka membuka hati (bukan hanya mata) dan secara legowo dapat beradaptasi dengan perkembangan yang ada. CSR bukan hanya kegiatan philanthrophy, charity, berlaku seperti sinterklas, dan memandang masyarakat sekitar (termasuk karyawan) hanya sebagai objek kegiatan CSR. Masyarakat di Indonesia, melalui berbagai anasirnya, kini sudah jauh 'educated' dibanding dengan masa sebelumnya. Masyarakat Indonesia sudah cukup cerdas membedakan kewajiban dari hak, yaitu: Kewajiban dan hak perusahaan disandingkan dengan kedua aspek tersebut yang dipunyai masyarakat.

Kefahaman akan CSR dari aspek definisi, prinsip, dimensi, proses, output, outcome, evaluasi, report sampai kepada keperluan audit dalam pelaksanaannya, akan menjadi titik tolak ada atau tidaknya KEIKHLASAN perusahaan dalam menjalankanya. Kefahaman yang salah, misal dalam UU PT yang baru diresmikan pemerintah, menjadikan keganjilan tersendiri dalam memaknai CSR, apalagi (nanti) dalam hal operasionalisasinya. Misal, Pemerintah memandang kata 'sosial' dalam CSR sebagai suatu aspek kehidupan sepadan dengan aspek ekonomi, politik, budaya, lingkungan, dan sebagainya. Padahal istilah 'sosial' dalam CSR adalah kata yang di'kontras'kan dengan sisi bisnis perusahaan. Sehingga dalam salah satu pasal dalam UU tersebut, pemerintah perlu menambah kata lingkungan untuk digandengkan dengan kata CSR. Padahal aspek 'lingkungan' yang dimaksud pemerintah sudah 'include' dari dimensi CSR itu sendiri (seolah-olah pemerintah tidak cukup mengenal prinsip 'three bottom line'?). Demikian juga kesalahan pemahaman yang dilakukan perusahaan. Kalau saja CSR hanya ditujukan untuk tujuan membangun pencitraan, maka CSR tidak ada bedanya dengan teori baru dari marketing. Dalam praktiknya, bukan hal yang mustahil, CSR akan dipenuhi dengan janji-janji yang menarik yang belum tentu sama dengan realisasinya. Dengan demikian, bukan mustahil pula, hubungan harmonis antara perusahaan dan masyrakat yang diinginkan akan berbalik menjadi konflik baru.

Satu sisi mengenai kefahaman yang standar mengenai CSR, dapat dijadikan tantangan oleh salah stakeholder CSR di Indonesia, dalam hal ini adalah kalangan akademisi. Ke depan, bukan hal yang mustahil, CSR dapat menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri, tidak lagi disisipkan dalam keilmuan sosial, administrasi negara atau manajemen industri, misalnya.

Satu aspek lain, yaitu mengenai keikhlasan, telah disebutkan di atas bahwa hal ini tidak mungkin terwujud apabila kefahaman CSR masih terpotong-potong. Ikhlas, bukan berarti gratis. Layaknya seorang dermawan yang ikhlas, dia mengetahui bahwa dengan memberikan sebagian 'assetnya' maka akan berdampak kepada perubahan nilai assets yang dimiliki. Tapi karena value dari berderma telah dia fahami, maka 'beban pengeluaran' tadi tidak menjadi penghalang untuk tetap berderma. Inilah, menurut saya inti dari keikhlasan. CSR, ketika dipandang sebagai aspek yang in-line dengan bisnis, maka CSR akan 'ditangkap' dan difahami sebagai suatu proses bisnis dengan tidak melepaskan inti bisnis itu sendiri. Dan layaknya business performance, maka CSR sebagai 'cost structure' perlu mendapatkan pengukuran dari aspek pencapaiannya.

Pada akhirnya, manusia ketika dipandang dari aspek materi, menurut Hukum Newton I akan jatuh pada kondisi kelembaman. Yaitu kondisi di mana Susah untuk Berubah! Untuk itu perlu adanya suatu intervensi berupa percepatan. Apakah percepatan yang dimaksud dalam kaitannya, misal dengan perubahan paradigma charity menuju CSR? Regulasi, Standarisasi dan advokasi kita nyatakan saja sebagai variabel percepatan agar manusia bisa berubah. Apa benar itu? Cukup, tidak usah dilanjutkan... Toch manusia bukan hanya sekedar 'onggokan' daging. Tuhan telah meniupkan ruhNya dalam proses penciptaan. Dengan ruhNya, manusia faham akan idea, kesadaran, kejujuran, benar dan salah serta keikhlasan.

Sebagai penutup, saya hanya ingin menegaskan bahwa CSR adalah produk peradaban yang menginginkan suatu perubahan (kepada yang lebih baik). Terjadi atau tidaknya, cepat atau lambatnya tergnatung kepada para pelakunya, baik dari pihak perusahaan, masyrakat (ataupun campur tangan pemerintah). Dan saya masih yakin bahwa anasir dari setiap pelaku tadi adalah MANUSIA.

Popular posts from this blog

Risalah Kebohongan: BAB II — KECELAKAAN BESAR BAGI PARA PEMBOHONG

Attitude, Aptitude dan Altitude

Al Fatihah dan AlFath: Membuka Kemenangan