Wafatnya Rhoma Irama dan Sikap Kritis atas Informasi

Wow Bang Haji meninggal..! satu komentar di salah satu group WA terbaca, dan langsung dikoreksi dengan menuliskan kalimat khas response kematian. Innalillahi wa inna ilaihi roo ji'uun.
Buka laman google, ketik tiga kata kunci: "Rhoma Irama Meninggal", maka terhubunglah dengan beberapa judul artikel/tulisan yang memang mendekati kata kunci. Buka satu laman yang berjudul, "Wasiat Rhoma Irama sebelum Meninggal", titi mangsa dan konten artikel tak ada kaitan dengan broad cast seorang temen di WA group. Buka satu situs lagi, hehe... ternyata Rhoma Irama lain yang wafat. Mengingat Rhoma Irama yang wafat ini pun seorang manusia, dalam hati tetap bergumam,  Innalillahi wa inna ilaihi roo ji'uun.

Kembali gabung ke grup WA, terbacalah penyesalan sang broadcaster sekaligus permintaan maaf. Yup, untuk insan Indonesia, siapa yang tak kenal si Raja Dangdut dengan segala fenomena kemashuran, sensasionalitas, dan tak lupa keulamaan-nya. Yang mashur jadi bahan kajian, panutan dan topik utama sebaliknya bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa banyak terlewatkan. Media (dan mungkin menurut saya para pengingkar kebenaran) telah menancapkan sikap pembedaan ini.

Terima sudah, jangan banyak protes, hidup di zaman teknologi informasi. (begitu kalee kalau kalimat itu sebagai doktrin). Dulu, kita mencari informasi, saat ini informasi mengunjungi kita. Broadcaster bukan lagi si empu dengan kualifikasi suara bening atau berwibawa atau punya otoritas. Suara nyirung alias sengau pun dapat menjadi broadcaster. Media sosial, gadget dan apalah namanya telah mewadahi para broadcaster yang sebelumnya dikuasai radio dan televisi.

Al-Qur'an pedoman hidup manusia, telah menggarisbawahi untuk kritis dalam menerima informasi. Janganlah menerima informasi apapun langsung menjadi sebuah keyakinan. Periksa, evaluasi secara kritis informasi dengan nalar dan rasamu.
"Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya." (QS 17:36, terjemahan DEPAG RI)

"taqfu" (ta qaaf fa) dalam ayat di atas yang diterjemahkan dengan kata  "mengikuti" versi DEPAG RI. Yusuf Ali (dalam The Holy Quran) lebih memilih kata "pursue" yaitu mengejar, atau mengejar kesenangan. Hal ini bisa berarti bahwa terkadang kita cenderung mengikuti kemauan kita untuk hal-hal yang dapat menyenangkan atau memuaskan kita walaupun kita tidak cukup pengetahuan mengenai hal itu. Sementara Shabbir Ahmed (dalam The Qur'an as it Explains itself), menerjemahkannya dengan klausul "reach conclusion" atau menyimpulkan. "taqfu" (ta qaaf fa) dalam terjemahan "Quran: A Reformist Translation" yang disusun oleh Edip Yuksel, dkk diterjemahkan dengan kata "up hold" yang berarti meneggakkan atau membenarkan.

Poin yang bisa saya sampaikan adalah bahwa ayat ini memberikan perintah untuk menggunakan fikiran atau rasa (sense, pertimbangan) dalam menguji atau memeriksa sebuah informasi yang kita terima. Hal ini juga mengingatkan kita berhadapan dengan kepatuhan kita terhadap ajaran agama atau idiologi politik, dengan mempertanyakannya sebagai bentuk penentangan akan penyembahan terhadap lembaga-lembaga yang sudah ada. Ini juga mengingatkan kita untuk tidak terhipnotis oleh karisma seorang pemimpin atau kebiasaan yang telah lama berjalan dalam masyarakat.

Saya sendiri mendambakan sebuah masyarakat yang menghargai pertanyaan rasional dan empiris serta tidak akan pernah menjadi bulan-bulanan korban fanatisme agama, atau tragedi yang dibawa oleh politisi karismatik. Dalam masayarkat akademik, sikap ini dikenal dengan skeptis  (meragukan akan sebuah informasi/gagasan). Allah yang Maha Bijak sangat tidak menyukai adanya firqah atau perpecahan, kita adalah umat yang satu. Islam yang hadir di tengah kita saat ini saya percayai bukan sebuah sekte yang menyanjung kebodohan.

Seorang Fisikawan, Steven Weinberg memberikan catatan mendalam mengenai hal ini,  "Dengan atau tanpa agama, Anda akan memiliki orang-orang yang baik yang melakukan hal-hal  baik, dan orang-orang jahat melakukan hal-hal yang jahat. Tapi bagi orang-orang yang baik untuk melakukan hal-hal yang jahat, mereka  mengambil (dalil) agama (sebagai rujukan)."

Islam agama yang menekankan optimasi sumber daya kita: akal-fikiran, pendengaran, dan penglihatan.
Quran berulang kali menyarankan kita untuk menggunakan akal kita, argumen beralasan,  berpikiran terbuka, menjadi pencari kebenaran,  menjadi filsuf, menjadi pemikir kritis, dan tidak menjadi pengikut angan-angan  atau kerumunan tertentu.

Argumentasi Nabi Ibrahim sebagai Bapak Nabi monoteis, dapat dilihat di QS 6: 74-83, bagaimana Nabi Ibrahim menolak argumen yang mempertanyakan ketauhidan selain digambarkan pula bagaiamana sebelumnya beliau juga mengkritisi sembahan-sembahan mereka.

Menutip Edip Yuksel, ketika memberikan penjelasan mengenai QS 17:36  ini, beliau mengambil keterangan dari Buddha. Sebelumnya dia menjelaskan,"Saran berikut ini dikaitkan dengan Buddha. Kami tidak mengutip ini karena kami menganggap namanya menjadi otoritas, juga bukan karena kami yakin bahwa itu diucapkan atau ditulis oleh seorang pria bernama Buddha; tetapi karena mengartikulasikan fakta yang mendalam." Apa yang dikatakan Buddha?
"Jangan menaruh iman dalam tradisi, meskipun mereka telah diterima untuk generasi lama dan di banyak negara Jangan percaya hal karena banyak orang yang mengikutinya, Jangan menerima sesuatu pada  satu otoritas atau yang lainnya, orang bijak, atau atas dasar pernyataan seperti yang ditemukan dalam buku-buku.  Jangan pernah percaya apa-apa karena probabilitas mendukungnya. Jangan percaya pada apa yang Anda sendiri membayangkan, berpikir bahwa dewa/tuhan telah menginspirasinya. Jangan percaya hanya pada otoritas guru atau imam. Setelah pemeriksaan, percaya bahwa yang telah Anda diuji untuk diri sendiri dan menemukan kewajaran, yang sesuai dengan kesejahteraan Anda dan orang lain. Menariknya, Edip Yuksel melanjutkan penjelasannya bahwa apa yang dijelaskan Buddha adalah ringkasan dari banyak ayat dalam Quran! Jika apa yang  diungkpakn secara  bijak di  atas memang dibuat oleh Buddha, maka dia akan menjadi orang pertama yang akan menolak kesetiaan yang disebut Buddha itu sendiri.

Edip Yuksel pun mengutip ayat dari Bibel, "Cari tahu tentang kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu!" (Yohanes 3:24), adalah pernyataan yang kuat terhadap penyembahan berhala dan kebodohan dari seorang  St. Paul dan para pengikutnya, seperti Tertullian dan banyak pemimpin gereja lainnya ternyata kebijaksanaan yang diberitakan oleh Yesus dalam kefanatikan dan dogmatisme yang dianggap filsafat dan filsuf sebagai musuh. Orang yang paling setia terhadap agama menyetujui  penggambaran Voltaire  atas pemahaman mereka: "Kebenaran agama tidak pernah begitu baik dipahami oleh mereka yang telah kehilangan kekuatan penalaran."

Terakhir, atas tulisan ini pun jangan lah percaya begitu ajaaa... he he. Mangga lakukan pemeriksaan dan jangan lupa memeriksa juga kebenaran yang datang dari Allah Swt, khususnya ayat: 2:170, 171, 242, 269; 3:118, 190; 6:74-83; 7:169; 8:22; 10:42, 100; 11:51; 12:2, 111; 13:4, 19; 16:67; 21:10, 67; 23:80; 24:61; 29:63; 30:28; 38:29; 39:9, 18, 21;40:54; 59:14; juga 6:110; 32:9; 45:23; 46:26.

Popular posts from this blog

Risalah Kebohongan: BAB II — KECELAKAAN BESAR BAGI PARA PEMBOHONG

Attitude, Aptitude dan Altitude

Al Fatihah dan AlFath: Membuka Kemenangan