Risalah Kebohongan: Pembukaan
Karakter jujur, secara universal, penulis pahami sebagai karakter
utama yang dicari dan dicintai manusia. Pengalaman penulis di berbagai sektor
pekerjaan, seperti perbankan, konsultan manajemen, perguruan tinggi dan lembaga
filantropi, misalnya, selalu ditempatkan sebagai karakter dan attitude
yang utama dan pertama menjadi perhatian dari mulai rekruitmen karyawan baru.
Hal ini mudah difahami ketika kebohongan (di kalangan karyawan, misalnya)
menjadi penyebab tidak tercapainya visi-misi perusahaan bahkan menjadi penyebab
perusahaan colaps, bangkrut atau hancur.
Ketidakjujuran karyawan bisa berbentuk pemalsuan kehadiran, laporan atau
penggelapan atau tindak korupsi. Demikian juga ketika diluaskan ke dalam
kehidupan di masayarakat. Banyak kerugian yang dtimbulkan sebagai akibat
kebohongan dari para pendusta ini. Akhir-akhir ini, misal, ramai dibicarakan
mengenai keresahan masyarakat sebagai dampak dari “hoax” yang subur dalam media
sosial.
Kata “Jujur” banyak dipadankan dalam bahasa Inggris dengan kata integrity
atau truthful (dapat dipercaya), selain honest. Dalam bahasa
al-qur’an, kata jujur ini terwakili oleh kata al-shidq atau al-aamaanah
(al-aamiin). Dari penelusuran penulis, kata al-shidq atau shadaqa
lebih sedikit ditemukan dalam al-qur’an dibandingkan dengan lawan katanya
“bohong” atau “dusta. Sad dal qaf (ص
د ق), yang merupakan triliterasi dari shadaqa atau al-shidq
ditemukan sebanyak 155 kali dalam ber berbagai variasi turunan katanya.
Sementara dusta (kadzaba, ك
ذ ب ), sebanyak 282 kali. Kejujuran dan kebohongan seringkali
dikaitkan dengan “perkataan” atau qawl (قَوْل) dari akar kata qāf wāw lām (ق و ل) dan ditemukan dalam
al-qur’an dalam berbagai variasi kata sebanyak 1722 kali[1].
Dengan demikian, mengambil istilah dari Farouk A. Peru[2],
“qaulan” atau perkataan atau ucapan ini termasuk “big words”, yaitu
kata-kata dalam al-qur’an yang sering muncul yang diartikan sebagai tema besar
dalam al-qur’an.
Mengenai qaulan ini, penulis sempat menyarikannya dalam risalah:
Al-Fatihah: Model Sistem Kehidupan Muslim, sebagai berikut:
Dalam Al-Qur’an kita mengenal jenis-jenis
perkataan (qaulan) yang menunjukkan
bobot/kualitas kita sebagai manusia beriman yang oleh Allah telah disemangati
untuk percaya diri lepas dari ketakutan dan kesedihan (QS. 5:69), perkataaan
itu adalah:
1.
Qaulan
Sadida (berkata benar)
2.
Qaulan
Baligha, (kata-kata yang tepat, mengena serta membekas)
3.
Qaulan
Ma'rufa, (berkata dengan cara yang baik)
4.
Qaulan
Karima, (perkataan yang mulia)
5.
Qaulan
Layinan, (perkataan yang lemah lebut)
6.
Qaulan
Maysura. (perkataan yang pantas)
Berikut adalah gambar yang menerangkan
bagaimana keterampilan dan etika komunikasi disesuaikan dengan kepada siapa
atau dalam situasi bagaimana pembicaraan berlangsung.
Satu bentuk perkataan lain adalah qaulun maghfirah
(perkataan berisikan pemberian maaf) yang sebelumnya didahului oleh kata ma’rufan
(QS 2:263), sebagaimana Allah berfirman:
“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah
yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah
Maha Kaya lagi Maha Penyantun.”
Demikian juga dengan perkataan yang mengandung keselamatan dan
perdamaian (qaulan salaaman) yang dicontohkan oleh para utusan-Nya (para
malaikat) dan nabiyullah Ibrahim ketika menyampaikan dan menerima wahyu-Nya
(QS 11:69), demikian juga ucapan para hamba Allah (‘ibadurrahman) yang
rendah hati membawa pesan keselamatan
dan kedamaian bagi mereka kaum jahil (QS 25: 63). Dan, kelak di yaumul akhir
ucapan “salaaman” ini pula yang akan diterima oleh para hamba Allah sebagai
ucapan dari Allah Swt (QS 36: 58).
Allah Swt dalam al-qur’an menjelaskan bahwa sebaik-baiknya
perkataan adalah perkataan berisikan seruan kepada tauhid dan ajakan untuk
berbuat baik. Iman dan amal shalih yang diwujudkan dalam tindakan (termasuk perkataan),
inilah inti dari tugas seorang muslim dalam memahami dinul Islam. Allah
berfirman:
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru
kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku
termasuk orang-orang yang menyerah diri?" (QS 41: 33)
Dari nenek-moyang kita, tema besar ini telah menjadi nilai atau filosofi
kehidupan dan diejawantahkan dalam banyak peribahasa atau ungkapan sebagai
tuntunan dalam menjalani kehidupan. Beberapa contoh ungkapan atau perbiahasa,
seperti: Diam itu emas; Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya; Lidah tak bertulang;
Mulutmu harimaumu; Setajam-tajam pisau, masih lebih tajam lidah;
mulut manis; bermulut besar, dan
sebagainya, cukup mewakili mengenai perhatian para pendahulu kita dalam
menjadikan kejujuran sebagai filosofi kehidupan.
Jujur adalah salah satu karakter para nabi dan
rasul. Dalam beberapa ayat al-Qur’an ditemukan frase rasulun amiin
(utusan yang dapat dipercaya), dan ini dinyatakan langsung oleh para utusan Allah:
إِنِّى لَكُمْ رَسُولٌ
أَمِينٌۭ (sesungguhnya aku
adalah seorang rasul yang dapat dipercaya bagimu)[3].
Al-Aamiin sendiri adalah gelar bagi Rasul Muhammad Saw, bahkan
diperolehnya sebelum Muhammad mendapat mandate sebagai utusan-Nya. Dalam ayat lain terdapat frase: لِسَانَ
صِدْقٍ عَلِيًّۭا, perkataan
yang benar dan tinggi (QS 19:50), atau shodiqul wa’di, إِنَّهُۥ كَانَ صَادِقَ
ٱلْوَعْدِ , seorang yang benar dalam
berjanji (QS 19:54).
Ketika iman adalah kesesuaian antara hati atau
fikiran, ucapan dan tindakan, maka demikian pula dengan orang jujur. Dari sini
pula ketika membahas kebohongan atau dusta, maka tidak bisa dipisahkan dengan
keimanan. Dalam risalah ini, akan dibahas bagaimana al-qur’an menjelaskan
berbagai jenis dusta dari orang yang beriman dan karakter ini dijelaskan pula
berkaitan dengan karakter buruk lainnya, termasuk kafir, musyrik, fasik,
munafik, zhalim, lalai, melampaui batas, berdosa, sombong/takabur dan
sebagainya.
Al-qur’an menjelaskan salah satu bentuk
kebohongan adalah dengan mengada-adakan tuhan selain Allah, dan ini adalah
perilaku musyrik. Al-Qur’an juga menjelaskan sikap melampaui batas (taghau)
atas taghut (tuhan palsu) yang mereka ada-adakan.
Mendustakan Allah dan al-haq, diikuti
dengan penolakan, menutupi kebenaran (kafir) akan Allah, ayat-ayat Allah,
malaikat, rasul, dan hari kiamat. Tindakan kafir ini pula berlanjut dengan
keberpalingan (tawalla), kesmobongan (aabaa), arogan (istikbar)
dan durhaka (‘asau). Inilah serangkaian dosa (jaroma, atsim)
dari para pendusta. Kelalaian (ketidaksadaran, aghfal) terhadap
ayat-ayat Allah juga atas apa yang mereka kerjakan termasuk dusta, merupakan
tahap lanjut dari kedustaan. Mereka sudah tidak lagi sadar dengan apa yang
mereka lakukan dan merugikan orang lain dengan segal fitnah, hinaan, ejekan dan
gossip yang mereka sebarkan. Mereka juga tidak pernah sadar lagi dengan
kerusakan yang mereka perbuat (fasik). Bahkan kepalsuan telah menjadi jati
dirinya sebagai upaya menutupi kebohongan dan inilah yang disebut dnegan kaum munafik.
Dusta yang utama dijelaskan dalam al-qur’an
adalah dusta (atau mengadakan kobohongan) terhadap Allah dan al-haq atau
al-shidq (kebenaran). Dari sinilah maka semua atribut, pekerjaan (af’aliyah)
dan ketentuan-Nya menjadi obyek kebohongan para pendusta (al-mukadzdzibbiin),
seperti: malaikat, rasul/nabi, ayat-ayat Allah yang tertulis (qauliyah/kitabullah)
atau yang tidak tertulis (kauniyah), hari kiamat, dan ad-diin.
Al-qur’an sendiri memberikan penjelasan bahwasanya mendustai kepada Allah dan
kebenaran pada intinya adalah mendustai dirinya sendiri yang pada akhirnya
istilah dalam al-qur’an menegaskan sebagai tindakan merugikan diri sendiri.
Para psikolog telah mengungkap berbagai motivasi
kebohongan. Manusia berbohong dalam konteks
hubungan sosialnya bisa memiliki tujuan untuk kebaikan atau keburukan, misalnya
penipuan[4].
Maka dari itu kebohongan sering dipadankan dengan kata menipu atau memalsukan.
Al-qur’an menjelaskan dalam surat al-baqarah ayat 9:
يُخٰدِعُوْنَ اللّٰهَ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا ۚ
وَمَا يَخْدَعُوْنَ اِلَّآ اَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُوْنَۗ - ٩
“Mereka menipu Allah dan orang-orang
yang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri sendiri tanpa mereka sadari.”
Ayat ini didahului ketika al-qur’an menjelaskan segolongan manusia
munafik yang mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir padahal mereka tidak
beriman.
Di ayat lain, kita diminta-Nya untuk memperhatikan dampak dari
orang membohongi diri sendiri:
ٱنظُرْ كَيْفَ كَذَبُوا۟ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ ۚ
وَضَلَّ عَنْهُم مَّا كَانُوا۟ يَفْتَرُونَ
“Lihatlah bagaimana mereka telah berdusta kepada diri mereka
sendiri dan hilanglah daripada mereka sembahan-sembahan yang dahulu mereka
ada-adakan.” (QS 6: 24)
Selain mendapatkan siksa di yaumul akhir, para pendusta ini
mendapatkan akibat dari perbuatannya di dunia dengan ketidaknyamanan dan
akkibat-akibat buruk lainnya.
Masih dari sumber yang sama sebagaimana dicantumkan dalam footnote
sebelumnya, dikatakan bahwa motivasi kebohongan lainnya adalah digunakan sebagai sarana untuk menyelamatkan muka,
agar kita tidak berada di posisi yang merugikan diri kita sendiri. Alih-alih
berharap menyelamatkan muka, namun para pembohong ini, menurut para psikolog,
sangat udah untuk dikenali.
Bahasan awal mengenai kecelakaan besar bagi para
pendusta (wailun), secara etimologi mengandung nuansa
keterkejutan/kekagetan. Demikian juga dengan para pembohong mudah dikenali
dengan pertanyaan-pertanyan yang mengejutkan. Keterkejutan mereka juga
digambarkan dalam al-Qur’an, kelak, dalam pertanggungjawabaan mereka dipenuhi
dengan pernyataan-pernyataan keterkejutan.
Menurut ilmu psikologi, mata adalah jendela hati
seseorang yang dapat menyatakan segalanya. Sehingga melalui mata kita bisa
mengetahui jika seseorang itu berbohong atau tidak. Hal yang paling terlihat
jelas adalah dengan melihat gerakan bola mata dari lawan bicara anda. Mata
manusia menghubungkan langsung dengan otak, melalui syaraf-syaraf yang saling
berhubungan satu sama lainnya. Sehingga saat orang berbohong, maka dirinya akan
berpikir terlebih dahulu untuk bisa menutupi kebohongan yang dilakukannya. Hal
tersebutlah yang kemudian memicu gerakan mata seseorang yang berubah. Ketika
orang berbohong maka secara otomatis gerakan bola mata akan mengarah ke kanan
sambil berusaha mencari alasan untuk menutupi kebohongan yang dilakukannya.
Biasanya orang-orang yang melakukan kebohongan akan berupaya melakukan kontak
mata yang lebih intensif dibandingkan biasanya.
Identifikasi lain bagi para pendusta ini dapat
dilihat dari perubahan gaya bicara yang disertai dengan bahasa tubuh (body
language), gerak anggota tubuh (gesture) dan ekspresi muka yang
khas. Demikian juga perubahan dalam hal nafas sebagai upaya untuk menutupi
kebohongan. Hal yang sama kita dapat mengenali kebohongan seseorang dengan
memperhatikan intonasi mereka ketika berbicara. Sebagian orang yang berbohong
tidak akan mampu menatap lawan bicaranya karena merasa takut dan cemas yang
berlebihan. Selain itu perhatikan intesif kedipan dari orang yang berbohong
tersebut. Orang yang sedang melakukan kebohongan memiliki kontak mata yang
cukup intensif karena tanda-tanda stress yang cukup tinggi sehingga
mengakibatkan matanya tegang dan mudah berkedip.
Menurut penjelasan beberapa ahli psikologi,
seseorang yang berbohong akan menaikkan nada
atau intonasi bicaranya lebih tinggi secara spontan, bahkan tanpa
disadarinya. Hal ini biasanya dilakukan oleh orang-orang yang berbohong agar
pernyataannya dapat didengar jelas oleh orang yang yang dituju tanpa dirinya
menyadari. Seperti yang banyak orang ketahui, orang yang berbohong akan
berusaha memutar balikkan fakta yang ada menjadikan kebohongannya menjadi
sebuah fakta. Hal ini akan disertai dengan nada tinggi serta penjelasan yang
panjang.[5]
Inilah yang al-qur’an tegaskan sebagai kerugian bagi
orang-orang yang berdusta karena pengingkaran baik kepada Allah, rasul-Nya dan
hari akhir. Ketidaknyamanan di dunia, setidaknya mengahantui mereka atas
tindakan dustanya itu.
Kembali kepada topik bahasan dalam risalah ini.
Penulis mencoba berbagi sebagai hasil taddabur al-qur’an mengenai
ayat-ayat yang berhubungan dengan dusta ini dengan harapan kita bisa mengambil
pelajaran untuk perbuatan yang dikenali sebagai tindakan paling zhalim.
Kritik, saran dan masukan serta koreksi atas
tulisan ini, penulis harapakan sebagai bentuk kasih saying kita sesame muslim
dalam suasana saling menasehati, kesabaran dan keataqwaan.
[1] http://corpus.quran.com/qurandictionary.jsp?q=qwl#(2:8:4)
[2] https://quranology.wordpress.com/
[3] QS: 26: 107, 125, 143, 162, 178; 44: 18
[4] https://lifestyle.kompas.com/read/2018/10/05/180523420/kenapa-orang-berbohong-psikolog-berikan-penjelasannya?page=all
[5] https://dosenpsikologi.com/cara-mengetahui-orang-berbohong-menurut-psikologi